Selasa, 18 November 2008

Syam Kamaruzaman "Perjalanan Preman Tuban"


Pendiam tak banyak cakap, Sjam Kamaruzaman aktif berorganisasi. Main musik dan menyanyi di Yogyakarta.

RUMAH joglo berkapur putih, dengan kusen biru, itu tampak berdebu tak terawat. Beberapa pot bunga berserakan di bagian depan, sarang laba-laba bergelayutan di sudut tembok. Rumah itu memang tak lagi dihuni, cuma dijadikan gudang.

Di depannya, agak ke kanan, tegak rumah kayu model serupa yang lebih besar, bercat putih dengan kusen kuning. Menurut Ruslan—bukan nama sebenarnya—rumah kayu yang ditempatinya ini sudah berumur sekitar 125 tahun. ”Sudah ditempati empat generasi,” kata menantu Sjam Kamaruzaman itu.

Ruslan, 67 tahun, beristrikan Laksmi—sebut saja begitu—putri bungsu Sjam dari lima bersaudara, yang 23 tahun lebih muda. Pasangan ini beranak satu, setelah menikah cukup lama.

Di rumah inilah Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus Partai Komunis Indonesia, dilahirkan pada 30 April 1924. Rumah berlingkung tembok 1,5 meter dengan lahan 1.450 meter persegi itu terletak di Kampung Kutorejo, Kecamatan Kota, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

Untuk ukuran kampung padat penduduk itu, rumah ini terbilang besar. Ayah Sjam, R Achmad Moebaedah, memang terbilang orang berada. Pada masa hidupnya, orang tua itu penghulu—semacam kepala pengadilan agama. Adapun ibunya, Siti Chasanah, asal Blitar, Jawa Timur, bergelar Raden Roro.

Sjam anak kelima dari sepuluh bersaudara—dua di antaranya meninggal pada masa kanak. Menurut Laksmi, berdasarkan cerita Latifah, adik Sjam yang telah wafat, Sjam dikenal sebagai anak yang sulit diatur orang tua. Ia gemar menyendiri, misalnya ke kuburan. Sebagai anak penghulu, Sjam belajar mengaji sejak kecil.

Sejak kecil Sjam mengagumi embahnya, R Prawiroredjo, yang konon punya ilmu kanuragan. Saking kagumnya, Sjam mencantumkan nama sang kakekdi belakang foto dirinya seukuran kartu pos, yang diambil pada 1950-an. Karena keuangan orang tuanya yang memadai, Sjam dan para saudaranya bisa menikmati sekolah formal waktu itu.

Di Tuban, Sjam masuk Sekolah Rakyat, lalu melanjutkan pendidikan ke Land & Tuinbouw School dan Suikerschool di Surabaya, yang terputus karena Jepang datang, pada 1942. Setahun kemudian, ia masuk Sekolah Menengah Dagang di Yogyakarta, hingga kelas dua, dan putus lagi karena pecahnya perang kemerdekaan.

Menurut berita acara pemeriksaannya, Sjam aktif mengikuti kegiatan Hizbul Wathan, organisasi kepanduan Muhammadiyah. Setelah di Surabaya, ia lebih banyak menghabiskan waktu bermain bola dan atletik. Belakangan, di Yogyakarta, ia juga main musik dan menyanyi.

Sjam mulai bersentuhan dengan dunia politik ketika bersekolah di Yogyakarta, dengan ikut perkumpulan pemuda Pathuk. Di sini ia menumpang hidup bersama kerabatnya. Menurut Suryoputro—bukan nama sebenarnya—yang saat itu bersekolah di Taman Siswa, Sjam sering ikut pertemuan gelap yang digelar gerakan perlawanan.

Biasanya, lelaki berambut keriting dan bertubuh gempal itu lebih banyak diam memperhatikan. ”Dia itu tipenya ngoho (preman), jadi tidak banyak ngomong,” kata Suryoputro. Seperti pemuda lain pada masa itu, Sjam ikut bergerilya melawan Belanda.

Menurut Suryoputro, Sjam ikut pertempuran di Mranggen, Ambarawa, dan Magelang, 1946-1947, dan sempat memimpin Laskar Tani di Yogyakarta. Pada 31 Desember 1947, bersama Sjam dan seorang rekan lain, Suryoputro berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan studi. Kelompok Pathuk bubar, dan banyak anggotanya masuk partai politik.

Di Karawang, mereka bertiga sempat ditahan Kemal Idris—ketika itu komandan batalion di Cikampek. Setelah menunggu sehari, mereka melanjutkan perjalanan. ”Sengaja menunggu karena Belanda pesta tahun baru sehingga penjagaan di Jakarta lebih kendur,” kata Suryoputro.

Di Jakarta, mereka tinggal di Jalan Bonang, tak jauh dari Tugu Proklamasi sekarang. Setelah itu, mereka pindah rumah berkali-kali. Sjam jadi pegawai Kantor Penerangan Jawa Barat, meski kantornya di Jakarta. ”Tapi tidak ada kerjanya, cuma duduk-duduk.”

Sjam bersama beberapa kawan kemudian ikut aksi gerilya malam, melempari pasukan Sekutu yang berjaga di kawasan Senen, Jakarta Pusat, dengan granat. ”Wilayah kerja malam” Sjam di seputar Jalan Kramat Raya. Entah bagaimana, Sjam juga bersentuhan dengan organisasi buruh kereta api.

Bersama rekan-rekannya, Sjam mengatur perjalanan desersi orang-orang Indonesia yang bergabung dengan tentara Belanda, Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), dan ingin ”menyeberang” ke pedalaman. Ia kemudian ikut mendirikan Serikat Buruh Mobil dan Serikat Buruh Kendaraan Bermotor.

Pada 1949, Sjam juga ikut mendirikan Serikat Buruh Kapal dan Pelabuhan, yang kemudian berubah nama menjadi Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran. ”Jumlah anggotanya pernah mencapai 13 ribu orang di Tanjung Priok saja,” kata Suryoputro, yang pernah memimpin organisasi itu.

Ketika terbentuk Badan Pusat Sementara Sarekat-Sarekat Buruh, yakni gabungan serikat buruh pada masa itu, Sjam dipercaya sebagai wakil ketua. Organisasi ini kemudian bubar, digantikan oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), yang berafiliasi ke PKI.

Sjam menjadi pengurus SOBSI hingga 1957. Pada masa itulah ia menikah dengan Enok Jutianah, perempuan Sunda aktivis buruh pelabuhan, yang meninggal setelah melahirkan anak kelima.

Menurut berita acara pemeriksaan, Sjam bertemu dengan Aidit pertama kali pada 1949. Aidit, ketika itu, dalam persembunyian di Jakarta setelah Peristiwa Madiun, 1948. Aidit kemudian menawari Sjam masuk PKI. ”Saya terima dengan baik,” kata Sjam, seperti tercantum dalam berita acara. Sejak 1957, Sjam menjadi pembantu pribadi Aidit, dan mundur dari serikat buruh.

Aidit menugasinya mengurus dokumentasi yang berhubungan dengan ideologi Marxisme-Leninisme. Tiga tahun kemudian, ia menjadi anggota Departemen Organisasi PKI, yang khusus menangani anggota dari unsur militer. Selang empat tahun, dibentuklah Biro Chusus, dengan Sjam sebagai ketua.

Menurut Suryoputro, sekitar 1949, Sjam sempat membuat skenario ”penjemputan Aidit” sepulang dari Vietnam di Pelabuhan Tanjung Priok. Ia diajak Sjam berboncengan sepeda. Di pelabuhan, Suryoputro kebagian tugas menjaga sepeda, sedangkan Sjam berpura-pura menjemput Aidit yang baru turun dari kapal.

Skenario penjemputan ini dibuat untuk memberikan kesan Aidit menyingkir ke Vietnam dan mempelajari Marxisme di sana, setelah Peristiwa Madiun. Selama di Tanjung Priok itu, menurut Suryoputro, dia tinggal bersama Sjam. ”Kami makan dan minum dari piring dan gelas yang sama.”

Sjam gemar mengenakan baju kaus berkerah. Pembawaannya sederhana dan dia mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Tapi, seingat Suryoputro, Sjam paling takut sama cecak. ”Kalau saya jengkel sama dia, saya kasih cecak saja. Dia akan lari menjauh.”

Pada mata kiri atas Sjam ada bekas luka, begitu juga di belakang pahanya. ”Itu bekas luka akibat pantulan peluru ketika berlatih menembak di Yogya dulu,” kata Suryoputro.

Di mata anak-anaknya, Sjam tetap ayah yang baik. ”Kami kerap diajak makan enak di rumah makan,” kata Shinta—bukan nama sebenarnya—anak kedua Sjam, kini 53 tahun. Bagi Maksum—bukan nama asli—anak sulungnya, Sjam bahkan rada melankolis. ”Bapak pernah menangis ketika saya berkelahi dengan adik saya,” katanya. ”Waktu itu, Ibu baru saja meninggal.”

Akhir Pelarian Sang Buron



Sjam ditangkap setelah satu setengah tahun bersembunyi.
Menggalang kekuatan sisa PKI.

ENAM hari setelah 30 September 1965, kesibukan melanda sejumlah pemimpin Biro Chusus—badan rahasia Partai Komunis Indonesia. Berkumpul di rumah Waluyo, seorang aktivis PKI, di Gang Listrik, Jakarta Pusat, pemimpin gerakan, Sjam Kamaruzaman, angkat bicara. ”Sekarang tugas kita menyelamatkan diri. Saya akan ke Bandung. Pono pergi ke Jawa Tengah. Hamim dan Wandi berada di Jakarta untuk menghimpun partai.”

Hamim, 83 tahun, satu dari lima pengurus Biro, bercerita kepada Tempo. Ketika itu, Sjam menyatakan Biro Chusus dibubarkan. ”Sjam pamitan kepada saya. Sejak saat itu, saya putus hubungan dengan Sjam, sampai kemudian bertemu lagi di penjara Cipinang.”

Menurut pengakuan Sjam dalam berita acara pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat, keputusannya kabur ke Bandung diambil bukan atas perintah Ketua PKI D.N. Aidit. ”Pimpinan partai tidak sempat memberikan instruksi,” katanya.

Tiga hari sebelumnya, sejumlah pengurus Biro Chusus memang berkumpul di rumah Sudisman, Sekretaris Jenderal PKI. Di sana Sjam ditanya mengapa G30S gagal. Ia menjelaskan soal Batalion 530 dan 454 yang semula diandalkan PKI tapi belakangan malah mundur dan bergabung dengan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Sudisman mengeluarkan perintah: segera selamatkan diri dan selamatkan partai.

Sejak itu, dimulailah masa pelarian Sjam. Sehari sebelum berangkat ke Bandung, 8 Oktober 1965, Sjam dibawa Mustajab, anggota staf Biro Chusus dari Sumatera Utara, ke Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di rumah siapa? ”Saya tidak tahu. Pengaturan pemberangkatan dari Jakarta maupun penerimaannya di Bandung saya serahkan sepenuhnya kepada Mustajab,” ujar Sjam kepada penyidik.

Di rumah itu, pada pukul tiga sore, Sjam masuk kamar dan tidak keluar sama sekali. Sjam meminta Mustajab mempersiapkan taksi untuk berangkat ke Bandung. ”Lalu kami berencana bertemu lagi di Cisarua,” kata Sjam.

Keesokan harinya, pukul sembilan pagi, taksi telah siap di Kebayoran Baru. ”Di dalam taksi ada sopir dan seorang lagi. Dua-duanya saya tidak kenal dan juga tidak memberikan nama, hanya bersalaman.” Di sepanjang jalan, yang ada hanya sepi, tak ada pembicaraan apa pun. ”Saya sendiri juga tidak merasa safe, karena terpaksa, ya, ditempuh juga,” demikian tertulis dalam berita acara pemeriksaan Sjam.

Sesampai di Cisarua, dekat sanatorium, oleh pengantar itu Sjam dibawa ke sebuah rumah, tak jauh dari jalan besar. ”Saya disuruh menunggu sampai Mustajab datang,” katanya. Sekitar pukul setengah empat sore, Mustajab tiba, lalu pengantar itu pun kembali ke Jakarta.

Menginap semalam di Cisarua, paginya pukul sepuluh Sjam berangkat bersama Mustajab dengan kendaraan yang lain menuju Bandung. ”Di perjalanan tak ada gangguan apa-apa,” kata Sjam. Sekitar 10 kilometer menjelang Bandung—antara Padalarang dan Cimahi—kendaraan berhenti. Sjam lalu dioper ke anggota staf Biro Chusus Daerah Jawa Barat bernama Tati. ”Bersama Tati saya menuju Bandung dan Mustajab kembali ke Jakarta.”

Sampai di Bandung pukul 14.00, Tati langsung mengantar Sjam ke rumah seseorang bernama Jaja. Dua hari kemudian, Tati menjemput Sjam dan membawanya ke Cipedes, Bandung, ke sebuah kamar sewaan. ”Di sini saya tinggal selama dua setengah bulan, sampai akhir Desember 1965,” ujar Sjam.

Di Cipedes, Sjam bertemu dengan Haryana, Kepala Biro Chusus Daerah Jawa Barat. Menurut Hamim, Haryana adalah keturunan Tionghoa yang pernah menjadi Ketua Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) di Subang.

Awal Januari 1966, Sjam pindah ke daerah Cibabat, antara Bandung dan Cimahi, di rumah anggota Polisi Militer bernama Idris. Sepekan di sana, ia mengungsi lagi ke rumah Jaja. ”Di rumah Jaja, saya tinggal enam bulan,” katanya. Di rumah ini, pada Juni 1966, Sjam kembali bertemu dengan Haryana. Keduanya membicarakan situasi di Bandung dan masalah keamanan Sjam yang ”semakin sempit karena terus ada razia tentara”.

Bekal uang Sjam juga makin tipis. ”Dari Jakarta, saya bawa uang sejuta rupiah, yang saya ambil dari uang sisa usaha Biro Chusus.” Dalam perhitungan Sjam, uang itu bisa dipakai selama lima bulan dalam pelarian. Betul saja, setelah itu, kantongnya kempis dan Sjam terpaksa melego arloji dan barang-barang lain yang ia miliki. Dalam pelarian, keuangan Sjam juga dibantu Biro Chusus daerah.

Akhir Juli 1966, Sjam pindah ke rumah Suparman, seorang tentara berpangkat letnan dua, di Cimahi. ”Saya tinggal hingga September,” kata Sjam.

Selama di Bandung, Sjam mengaku tak bisa berhubungan dengan pemimpin PKI di Jakarta. Mula-mula ia memang memanfaatkan Mustajab sebagai penghubung. Namun, sejak Juli 1966, hubungan itu terputus. Sjam lalu menunjuk seseorang bernama Edy Suyono untuk mencari kontak dengan pemimpin partai di Jakarta. Tapi usaha itu gagal.

Oktober 1966, Sjam pindah ke rumah seseorang bernama Idi di Jalan Taman Sari, tak jauh dari kampus Institut Teknologi Bandung. Sebulan kemudian, dia menginap di Hotel Bali, hingga akhir Desember.

Ketika di Hotel Bali, November 1966 itu, Sjam bertemu lagi dengan Haryana. Sambil berjalan mengelilingi lapangan Lodaya, keduanya membahas situasi organisasi. ”Saya sarankan supaya dibentuk grup-grup. Anggotanya 3, 5, atau 6 orang untuk tiap grup dengan satu koordinator,” ujar Sjam. Kepada penyidik, Sjam mengaku memberikan ”nasihat” tentang teori-teori dan cara membangun kembali PKI.

Awal 1967, setidaknya dua kali Sjam pindah rumah. Terakhir ia menginap di rumah seorang pengurus PKI di daerah Padasuka. Di sini, Sjam kembali bertemu dengan Haryana. ”Saat itu Haryana sakit. Fisiknya lemah.”

Pada 6 Maret 1966, Sjam mendapat kabar bahwa seseorang bernama Jojo, yang mengetahui persembunyiannya di Padasuka, ditangkap aparat. Tak menunggu lama, Sjam segera lari ke rumah Suparman di Jalan Simpang Nomor 15, Cimahi, diantar simpatisan PKI bernama Santa Lusina. ”Perpindahan dari Padasuka ke Cimahi atas inisiatif saya sendiri. Tanpa persiapan apa-apa. Mendadak,” kata Sjam.

Di rumah Suparman, perasaan Sjam sudah tak enak. Sjam berencana hanya dua hari di sana. Tapi, pada hari yang disepakati, Santa Lusina yang berjanji akan mengantar malah tidak datang.

Masa pelarian Sjam memang tak panjang. Pukul satu malam 9 Maret 1967, ketika terlelap, ia ditangkap dalam Operasi Kodam Siliwangi dengan nama sandi Kalong. Saat pulang dari Padasuka, Santa disergap. ”Dia menunjukkan tempat saya menginap,” kata Sjam dalam kesaksiannya.

Versi Mutakhir G30S


Asvi Warman Adam

  • Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

    BEGITU meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965, para perwira di sekeliling Soeharto—Yoga Sugama, misalnya—langsung punya firasat: Partai Komunis Indonesia berada di balik itu. Dalam hitungan hari, 5 Oktober 1965, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibnu Subroto pun mengeluarkan pernyataan: ”Peristiwa ini jelas didalangi oleh PKI yang merencanakan kup ini.”

    Versi ini menimbulkan tanda tanya. Jika PKI berontak, kenapa tiga juta anggotanya tidak melawan? Kenapa partai komunis terbesar ketiga di dunia itu rontok dengan mudahnya?

    Selama ini alasan yang digunakan pemerintah selalu mengacu pada proses Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang memutuskan PKI terlibat pemberontakan. Padahal putusan pengadilan hanya menyebutkan individu-individu yang dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup, dengan alasan terbukti melakukan makar.

    Pendekatan di atas itu ditentang oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey, yang pada Januari 1966 mengatakan ini persoalan intern Angkatan Darat. Pandangan itu kemudian diterbitkan dan dikenal sebagai ”Cornell Paper” (1971). Mereka memandang G30S sebagai pemberontakan perwira asal Kodam Diponegoro yang kesal melihat perilaku para jenderal SUAD yang hidup berfoya-foya di Jakarta. Perwira asal Jawa Tengah itu mengajak personel Angkatan Udara Republik Indonesia dan PKI dalam operasi mereka.

    Analisis kedua ini lemah karena Untung dan Latief memang dari Kodam Diponegoro, tapi tidak demikian halnya dengan Brigadir Jenderal Supardjo (Siliwangi) dan Mayor Udara Sujono. Demikian pula, mengatakan ini semata-mata persoalan ”intern Angkatan Darat” tidak tepat karena unsur PKI, seperti Sjam dan Pono, juga terlibat.

    Kedua versi tersebut ditengahi Harold Crouch (The Army and Politics, 1978) yang menolak Cornell Paper yang membebaskan PKI sepenuhnya dari kesalahan. Namun ia berpendirian bahwa ”inisiatif awal timbul dari tubuh Angkatan Darat”. PKI terlibat tapi sebagai ”pemain kedua”. Versi Crouch itu cukup beralasan, walaupun ia tak berhasil menjelaskan mengapa G30S dirancang dengan buruk, mengapa pengumuman mereka yang kedua disiarkan berselang lima jam dari yang pertama. Padahal, dalam suatu kudeta, kecepatan dan ketepatan waktu sangat krusial.

    Sebelum Harold Crouch, seorang penulis Belanda, Antonie Dake, menerbitkan untuk konsumsi internasional edisi dua bahasa yang berisi pengakuan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko, The Devious Dalang (1974). Buku itu merupakan hasil pemeriksaan Bambang Widjanarko (3 Oktober-4 November 1970) yang membenarkan bahwa Soekarno pada 4 Agustus 1965 memanggil Letnan Kolonel Untung dan memerintahkannya mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal.

    Soekarno wafat 22 Juni 1970 dan tidak mungkin lagi diadili. Tapi, untuk apa dilakukan pemeriksaan tentang keterlibatannya dalam G30S? Ditengarai wacana itu merupakan upaya preventif mencegah kebangkitan pendukung Soekarno dalam pemilihan umum Juli 1971. Versi Soekarno ini diragukan, karena Widjanarko sendiri mengakui kemudian ia dipaksa bersaksi. Apa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 pagi hari membuktikan bahwa Presiden Soekarno tidaklah tahu sepenuhnya rencana G30S. Mengapa ia berputar-putar keliling Jakarta sebelum menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, 1 Oktober 1965? Mengapa tidak langsung dari Wisma Yaso menuju Halim?

    Keterlibatan Soeharto diungkapkan oleh W.F. Wertheim dalam artikelnya yang terbit musim dingin 1970: ”Suharto and the Untung Coup—The Missing Link”. Hubungan Soeharto dengan Untung dan lebih-lebih lagi dengan Latief yang bertemu dengan Soeharto pada malam nahas itu juga dipertanyakan. Soalnya, Soeharto tidaklah ”sejenius” itu, bukan tipe orang yang merancang perebutan kekuasaan secara sistematis. Tapi, karena sudah tahu sebelumnya, ia menjadi orang yang paling siap.

    Amerika Serikat tidak ikut campur pada 30 September dan 1 Oktober 1965 walaupun berbagai dokumen menyebutkan keterlibatan mereka sebelum dan sesudah peristiwa. Bagi Amerika, jatuhnya Indonesia ke tangan komunis artinya kiamat. Keterlibatan Amerika ini sudah disinyalir Bung Karno dalam pidato Nawaksara pada 1967, yang menyebut adanya ”subversi Nekolim”.

    Setelah Soeharto jatuh pada 1998, bermunculan buku-buku yang semasa Orde Baru tidak boleh terbit di samping pencetakan ulang versi resmi. Meskipun berbentuk penerbitan terjemahan atau tulisan baru, semua buku itu masih dapat dikategorikan atas lima pendekatan dalam melihat dalang G30S (PKI, Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto, dan CIA). Masing-masing menentukan dalang tunggal dari peristiwa yang sesungguhnya sangat kompleks. Padahal Soekarno pada 1967 sudah lebih maju dalam melihat peristiwa itu, yakni sebagai pertemuan tiga sebab: 1) keblingernya pemimpin PKI, 2) subversi Nekolim, 3) adanya oknum yang tidak bertanggung jawab.

    Versi keenam, versi mutakhir G30S dikemukakan dalam buku John Roosa (Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, 2008). Di sini peran Sjam sangat menentukan. Kelemahan utama G30S adalah tidak adanya satu komando. Terdapat dua kelompok pemimpin, yakni kalangan militer (Untung, Latief, dan Sujono) serta pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, dengan Aidit di latar belakang). Sjam memegang peran sentral karena ia menjadi penghubung di antara kedua pihak ini. Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan diminta untuk dihentikan, kebingungan terjadi, kedua kelompok ini terpecah. Kalangan militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus tetap melanjutkan. Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama, kedua, dan ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam. Pada pagi hari mereka mengumumkan bahwa Presiden dalam keadaan selamat. Adapun pengumuman berikutnya, siang hari, sudah berubah drastis: pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet.

    Dokumen Supardjo mengungkap mengapa gerakan itu gagal dan tidak bisa diselamatkan. Kerancuan antara ”penyelamatan Presiden Soekarno” dan ”percobaan kudeta” dengan membubarkan kabinet dijelaskan dengan gamblang. Jauh sebelum peristiwa berdarah itu, Amerika telah mendiskusikan segala tindakan yang perlu untuk mendorong PKI melakukan gebrakan lebih dulu sehingga dapat dipukul secara telak oleh Angkatan Darat. Dan Aidit pun terjebak. Karena sudah mengetahui sebelum peristiwa itu terjadi, Soeharto adalah jenderal yang paling siap pada 1 Oktober 1965 ketika orang lain bingung. Nama Soeharto sendiri tidak termasuk daftar perwira tinggi yang akan diculik.

    Penulis Prancis, Paul Veyne, mengatakan bahwa sejarah itu tak lain dari intrik. Pada versi ini, kerumitan misteri itu disederhanakan dengan metode ala detektif. Pembaca diyakinkan bahwa tokoh kunci G30S, Sjam Kamaruzaman, bukanlah agen ganda, apalagi triple agent, melainkan pembantu setia Aidit bertahun-tahun. Pelaksana Biro Chusus PKI yang ditangkap pada 1968 ini baru dieksekusi pada 1986. Ia bagaikan putri Syahrezad yang menunda pembunuhan dirinya dengan menceritakan kepada raja sebuah kisah setiap malam, sehingga mampu bertahan 1.001 malam. Sjam bertahan lebih dari 18 tahun dengan mengarang 1.001 pengakuan. Ia diberi kesempatan untuk mengungkapkan siapa saja yang pernah direkrutnya.

    Sjam divonis mati dalam Mahmilub pada 1968. Ia diambil dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang 27 September 1986, dibawa ke RTM Cimanggis, Bogor. Pada 30 September dinihari, bersama Pono dan Bono dibawa ke lokasi eksekusi di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Dari RTM Cimanggis dibawa dengan konvoi kendaraan militer ke dermaga Tanjung Priok. Dengan kapal militer berlayar selama 15 menit sampai di pulau. Mereka ditembak tepat pukul 3 pagi oleh regu tembak yang terdiri atas 12 orang. Rute kehidupan Sjam dari Tuban (30 April 1924)-Jombang-Surabaya-Yogyakarta-Jakarta-RRC (berobat)-Vietnam Utara-penjara Cipinang-RTM Cimanggis-Tanjung Priok-Kepulauan Seribu (30 September 1986) berakhir tepat pada peringatan 21 tahun tragedi berdarah itu.

    Dalam versi keenam ini terungkap bahwa G30S lebih tepat dianggap sebagai aksi (untuk menculik tujuh jenderal dan menghadapkan kepada Presiden), bukan sebagai gerakan. Sebab, peristiwa ini merupakan aksi sekelompok orang di Jakarta dan Jawa Tengah yang dapat diberantas dalam waktu satu-dua hari. Namun aksi ini (yang kemudian ternyata menyebabkan tewasnya enam jenderal) oleh Soeharto dan kawan-kawan lalu dijadikan dalih untuk memberantas PKI sampai ke akar-akarnya. Sesuatu yang di lapangan menyebabkan terjadinya pembunuhan massal dengan korban lebih dari setengah juta jiwa.

    Kalau para jenderal yang diculik itu tertangkap hidup-hidup, mungkin sejarah Indonesia akan lain. Massa PKI akan turun ke jalan dan menuntut para jenderal itu dipecat. Presiden akan didesak untuk memberikan kursi departemen kepada golongan kiri itu karena sampai 1965 Soekarno tidak pernah mempercayakan pemimpin departemen kepada tokoh komunis kecuali Menteri Negara.

    Versi terakhir ini dilakukan dengan membongkar versi-versi lama (dekonstruksi) dan menyusun narasi baru (rekonstruksi) dengan menggunakan sumber-sumber yang kesahihannya telah diuji serta tokoh kunci yang dapat diandalkan mengenai apa yang disebut Biro Chusus PKI. Versi ini menampilkan data baru (berbagai dokumen dari dalam dan luar negeri), metodologi baru (dengan mengikutsertakan sejarah lisan), dan perspektif baru (ini adalah aksi bukan gerakan, tapi kemudian dijadikan dalih untuk peristiwa berikutnya yang lebih dahsyat). Karena Sjam menjadi tokoh sentral, silakan versi terakhir ini disebut G30S/Sjam.

  • Peluk Terakhir buat Sang Putri


    Rencana eksekusi mati Sjam disampaikan kepada keluarganya meski jasad dan kuburnya tak pernah jelas. Ada yang percaya masih hidup.

    DI sebuah rumah di Jakarta Timur, lelaki itu bicara setengah memohon. ”Coba Bapak cari informasi tentang Sjam. Saya dengar dia masih hidup di Florida, Amerika Serikat,” katanya. Yang diajak bicara menggeleng. ”Menurut saya, dia sudah mati. Tidak ada alasan bagi pemerintah menyelamatkannya.”

    Pria pertama adalah Suryoputra, bukan nama sebenarnya, eks tahanan politik Partai Komunis Indonesia dan sahabat karib Sjam Kamaruzaman, Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia. Yang kedua adalah John Roosa, sejarawan dari Universitas British Columbia, Kanada, yang baru saja menerbitkan Dalih Pembunuhan Massal, buku tentang tragedi G30S.

    Anda kangen kepada dia? Tempo memotong diskusi yang dilakukan menjelang buka puasa Ramadan lalu. ”Tentu saja,” kata Suryo. ”Kami teman dekat sejak zaman revolusi.”

    ”Kalau Sjam masih hidup,” Suryo melanjutkan, ”saya pasti bisa mengenalinya.” Setidaknya ada tiga tanda Sjam yang masih bisa diingat Suryo. Pertama, codet di dekat mata kiri. Kedua, bekas luka di paha bagian belakang karena peluru nyasar saat keduanya berlatih menembak. Ketiga, ini yang menarik, Sjam takut pada cecak. ”Kalau bertemu dia, saya akan bawa cecak. Jika dia takut, pasti itu Sjam,” kata Suryo tertawa. Azan magrib terdengar, Suryo menyeruput air minumnya.

    Suryo bukan satu-satunya orang yang percaya Sjam masih hidup. Boengkoes, kini 83 tahun, mantan Komandan Peleton Kompi C Batalion Kawal Kehormatan Cakrabirawa, pasukan yang menculik enam jenderal Angkatan Darat pada peristiwa G30S, meyakini hal yang sama. ”Saya dengar dia dibuang ke Amerika. Ada juga yang bilang dikirim ke Arab Saudi. Kabarnya, anaknya pernah bertemu dia di Sumatera,” katanya.

    Soal mengapa pemerintah menyelamatkan Sjam, sedangkan petinggi PKI lain dieksekusi mati, Boengkoes berujar pendek, ”Ia tokoh penting di partai, punya jaringan kuat di kalangan militer.”

    Sjam adalah bayang-bayang. Kematiannya hingga kini menjadi misteri. Tak ada kuburan penanda jasadnya. Bahkan keluarganya tak pernah diberi tahu perihal jenazah atau kuburnya. Yang ada hanya perjamuan terakhir pria asal Tuban, Jawa Timur, itu dengan putri pertamanya, Shinta (nama yang disamarkan), sehari sebelum ia kabarnya dieksekusi mati.

    l l l

    KAMIS pagi, 25 September 1986. Dua pria bertubuh tegap mengetuk pintu rumah di Kampung Kutorejo, Tuban, Jawa Timur. Kepada tuan rumah, Latifah, mereka mengaku sebagai utusan Komando Daerah Militer V Brawijaya. Tuan rumah adalah adik kandung Sjam.

    Shinta ikut mendampingi bibinya. Ia ingat, kedua tamu mengulurkan selembar surat ”titipan dari Jakarta”. Setelah membacanya, Latifah meminta Shinta bergegas ganti baju. Bersama dua orang yang belakangan diketahui sebagai Oditur Militer Kodam Brawijaya itu, Shinta naik bus umum menuju Surabaya. Dari Bandar Udara Juanda, perjalanan dilanjutkan ke Jakarta.

    Dua orang itu, sesuai dengan kartu nama yang hingga kini disimpan keluarga Sjam, adalah Letnan Kolonel CHK Frans Paul Lontoh dan Letnan Kolonel CHK Soewardi. Di perjalanan, mereka mengatakan hendak mempertemukan Shinta dengan Sjam. Ia terakhir menjenguk ayahnya di penjara Cipinang pada 1972, bersama kakak Sjam.

    Shinta mengaku menghadapi pilihan sulit. Sebagai pegawai negeri, bertemu dengan tahanan politik adalah persoalan baru. Tapi pertemuan dengan sang ayah merupakan kebahagiaan tersendiri. Shinta didatangkan atas permintaan ayahnya, meski Sjam juga ingin Latifah hadir. Hal itu tertera dalam surat yang ditulis Sjam di Cipinang dan diberi judul ”Lieve Latifah”. Surat ditulis pada November 1984 dan dibawa dua perwira tersebut ke Tuban.

    Dua perwira Kodam Brawijaya itu mengajak Shinta ke sebuah tempat. Matanya selalu ditutup. ”Saya tak tahu tempatnya,” ujarnya. ”Turun dari kendaraan, saya dibawa masuk ke sebuah ruang. Di depan saya sudah ada Bapak.” Shinta memandangi ayahnya. Mereka berpelukan erat.

    Menurut Shinta, tidak ada perubahan fisik ayahnya yang menonjol. Bicaranya tetap tegas, bersemangat. Tampak wajahnya mulai keriput dimakan umur. ”Yang paling mencolok, uban Bapak banyak sekali,” tuturnya. Sjam ketika itu berusia 64.

    Di ruangan itu ada dua meja, dua-duanya dipenuhi pelbagai hidangan. Semua makanan enak. Ada ikan kakap, sate, dan ayam bekakak. Sjam, menurut Maksum (bukan nama sebenarnya), kakak Shinta yang ditemui secara terpisah, lalu berkata, ”Ayo kita makan enak.” Tapi Shinta tak menyentuh satu pun makanan. Ia menangis selama pertemuan. Sjam kemudian berujar, ”Kamu kok nangis. Semua orang nanti akan meninggal juga.”

    Pengawal memberi tahu, mereka hanya punya waktu setengah jam. Sjam minta maaf kepada lima anaknya karena tak bisa membesarkan mereka. Ia berpesan kepada anak-anaknya agar hidup rukun. Tak lama kemudian, seorang rohaniwan berpakaian putih masuk. Lelaki itu meminta Shinta segera pergi. Sjam memeluk putrinya dan kembali minta maaf.

    Keluar dari ruangan, Shinta ditawari menginap di hotel. Ia menolak dan meminta diantar ke rumah kakak Sjam di kawasan Tebet Barat, Jakarta Selatan. Di tempat itu, Shinta menceritakan kepada kakak-kakak dan keluarganya: ayahnya akan segera dieksekusi mati.

    Shinta lalu menyampaikan kabar sedih itu kepada saudara-saudaranya yang lain. Salah satunya adalah Kelana (bukan nama sebenarnya), yang kala itu sedang mengerjakan sebuah proyek di Kepulauan Seribu. ”Saya mendapat telepon dari Shinta bahwa Bapak dibawa ke Pulau Seribu,” tuturnya. Adapun Maksum menuturkan, ”Sekitar hari ketika Bapak ditembak, saya bersama istri di rumah. Tiba-tiba saya menangis. Ada kesedihan tanpa sebab. Tiba-tiba Shinta menelepon.”

    Menurut satu versi, Sjam dikeluarkan dari Cipinang pada 27 September 1986 pukul 21.00. Ia dijemput perwira Penelitian Kriminal Polisi Militer Kodam Jaya, Edy B. Sutomo, lalu dibawa ke Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Jawa Barat. Baru tiga hari kemudian, ia dan dua tahanan lain dibawa ke Tanjung Priok pada tengah malam. Dengan kapal laut militer mereka diangkut ke sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Mereka dieksekusi pada pukul 03.00.

    Tapi keluarga Sjam tak pernah mendengar kejelasan informasi itu. ”Kalau benar Bapak dieksekusi, di mana makamnya sekarang?” kata putri bungsunya, yang kini tinggal di Tuban.

    l l l

    KARLINA Supeli, aktivis perempuan, melakukan penelitian tentang para tahanan politik pada 2001. Untuk keperluan ini, ia menyigi informasi tentang Sjam. Ia menemukan seorang rohaniwan yang kabarnya mendampingi pria 64 tahun itu ketika dieksekusi.

    Ditemui di kampus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, tempatnya berkantor, Karlina tak banyak bicara. Ia beralasan, sang rohaniwan yang kini bermukim di Semarang itu belum memberinya izin bicara. Ditanya apakah rohaniwan itu memastikan Sjam telah ditembak mati, ia menjawab, ”Itu juga bagian yang tidak boleh saya sampaikan.”

    Sumber lain yang pernah mendengar cerita rohaniwan ini mengisahkan peluru dari regu penembak meleset dari tubuh Sjam. Komandan regu kemudian mengambil alih eksekusi. Ia mengambil pistol dan menembak Sjam dalam jarak dekat. ”Beberapa bulan kemudian, sang komandan masuk rumah sakit jiwa, ia tak tahan dengan peristiwa itu,” tuturnya.

    Jungkir-Balik Setelah Prahara


    Anak-anak Sjam hidup tercerai-berai. Masih merahasiakan silsilah keluarga.

    SJAM Kamaruzaman tidur tengkurap di rumahnya, 43 tahun silam itu. Di Jatibuntu, Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia itu seharian menghabiskan waktu di kamar depan. Sorenya, tepat tiga hari setelah geger politik 30 September 1965, Sjam menghilang. ”Bapak pergi tanpa pamit,” kata Maksum, nama aliasputra sulung Sjam, mengenang.

    Padahal, malam sebelumnya, dia baru pulang setelah sepekan meninggalkan rumah. Itulah awal perpisahan panjang antara lima anak Sjam dan sang ayah. Tak ada lagi ritual rutin Sjam bersama anaknya melancong ke Sampur, Cilincing, untuk melihat matahari terbenam. Tak ada lagi kumpul-kumpul keluarga minum susu di Kramat Raya.

    Rumah di Jatibuntu—sekarang Jalan Pramuka Jati—digerebek Corps Polisi Militer setahun setelah peristiwa 30 September. Tiga mobil milik keluarga—Nissan, Holden, dan Mazda—disita. Ibu tiri mereka, yang belum lama dinikahi Sjam, lenyap setelah kejadian itu. Kehidupan mereka jungkir-balik.

    Lima anak Sjam, bersama Mun Muntarsih—kakak ipar Sjam yang akhirnya mengasuh mereka—hidup dempet-dempetan karena enam dari delapan kamar di rumah itu ditempati 20-an tentara dari Kodam Siliwangi. Berbagai cara dilakoni agar bisa menyambung hidup. Mulai berdagang bumbu dapur di Pasar Genjing hingga menjual gado-gado di Stasiun Kramat.

    Bu Mun—demikian anak-anak Sjam menyebut Mun Muntarsih—menjual barang-barang milik Sjam di Pasar Rumput. Misalnya, jas panjang musim dingin yang dibeli di Cina. Keluarga juga terpaksa menjual lukisan koleksi Sjam.

    Rumah dengan luas tanah 900 meter persegi itu belakangan ditempati tiga polisi militer beserta keluarganya. Pelan-pelan Maksum dan adik-adiknya menyingkir ke kamar belakang, hingga akhirnya jadi penghuni garasi. Tak tahan oleh tekanan psikologis itu, mereka hengkang, menjelang 1970, tak lama setelah Maksum lulus sekolah menengah pertama.

    Sejak itulah lima bersaudara ini berpencar. Dua adik Maksum, Shinta (saat itu 14 tahun) dan Laksmi, 5 tahun, diboyong oleh Latifah, adik Sjam, ke Tuban, Jawa Timur. Adapun Ratna, 12 tahun, anak nomor tiga, diasuh keluarga di Bandung. Maksum dan Kelana, 9 tahun, hidup luntang-lantung mengembara ke beberapa kota di Jawa.

    Oleh Benyamin, gurunya di SMP 8 Pegangsaan Barat, Maksum diajak ke Pacet, Jawa Timur. Ia ikut sekolah persiapan dua tahun—setingkat sekolah menengah atas. Dari sana Maksum masuk pesantren Lirboyo, di Kediri, Jawa Timur. Ia nyantri pada 1971 hingga 1979. Maksum memberi tahu Latifah soal keberadaannya setelah empat tahun di Lirboyo.

    Lain Maksum, lain Kelana. Anak keempat Sjam ini mengelana ke Yogyakarta dan Bandung, sebelum akhirnya balik ke Jakarta. Sekolahnya putus-sambung. Berbekal informasi dari surat kabar yang mewartakan tahanan politik ditaruh di rumah tahanan militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, Kelana memberanikan diri menanyakan keberadaan ayahnya. Ditanya oleh penjaga, ia mengaku anak Sjam.

    Pencariannya tak sia-sia: ia diizinkan bertemu dengan sang ayah. Momen itu berlangsung pada 1976. Karena dari kecil sudah ditinggal pergi Sjam, Kelana tidak ingat wajah ayahnya. Ia merasa pertemuan itu tidak begitu mengharukan. Keberadaan Sjam disampaikan Kelana kepada Maksum.

    Kelana sejak itu rajin menyambangi ayahnya. ”Setelah tahu saya anak Sjam, saya mudah keluar-masuk kamar tahanan,” kata Kelana, kini 48 tahun. Sepulang dari sana, ia selalu diberi uang saku oleh Sjam. Bahkan, atas perintah Sjam, Kelana mengambil sendiri uang itu dari dalam tas bapaknya. Jumlahnya Rp 30-35 ribu per bulan.

    Dari mana uang itu? Kelana mengatakan, di dalam tahanan ayahnya menjadi perajin tas. ”Sebulan Bapak bikin tiga-empat koper,” katanya. Pekerjaan itu dilakoninya bertahun-tahun. Uangnya utuh karena tak pernah dibelanjakan. Uang di dalam tas itu sudah dikelompokkan dalam pecahan ratusan dan ribuan. ”Semuanya uang baru.”

    Di dalam sel empat kali empat meter itu, Kelana suka memasak bersama ayahnya. Sel itu ada dapurnya. Di belakang sel, Sjam menanam bayam. Kelana juga suka tidur siang di sana. Ayahnya, kata Kelana, juga rajin main badminton. ”Raketnya sampai lima.” Meski sering besuk, Kelana merasa Sjam tak begitu terbuka. ”Bapak jarang bicara,” katanya.

    Setelah Kelana masuk pusat pendidikan dan latihan balai teknik di Bandung, ia bekerja di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai di Selat Bali dan di Kepulauan Seribu. Maksum baru balik ke Jakarta pada 1981, setelah dua tahun sebelumnya bekerja di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.

    Karena ada lowongan pegawai negeri sipil di Dinas Purbakala, Yogyakarta, ia balik ke Jakarta mengurus ijazah sekolah dasar dan SMP. Ia berani melamar karena di ijazahnya nama sang ayah bukan Sjam Kamaruzaman, melainkan Sjamsudin. Di Jakarta, Maksum kembali bertemu dengan Benyamin, yang pindah profesi menjadi redaktur di salah satu harian Ibu Kota.

    Bekas gurunya itu mengajak bergabung. Karena kangen kepada ayahnya—saat itu sudah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang—Maksum menyambut tawaran itu. Ia lalu menjadi korektor bahasa.

    Setelah memperoleh kartu tanda penduduk Jakarta, Maksum datang ke Cipinang. Sjam kaget. Inilah pertemuan pertama setelah 16 tahun berpisah. ”Tapi saya tak menangis, karena air mata sudah habis,” kata Maksum. Sejak itu Maksum datang ke ruang besuk Cipinang dua bulan sekali, biasanya Sabtu pagi.

    Berbeda dengan kepada Kelana, kepada Maksum Sjam banyak bicara soal ideologi. ”Mungkin karena tahu saya jebolan pesantren,” katanya. Sjam juga suka minta dibawakan majalah-majalah berbahasa Inggris dan Belanda. Tapi pembicaraan tak pernah menyinggung peristiwa 1965.

    Sjam menitikkan air mata ketika Maksum membawa anaknya ke Cipinang. Ia menggendong cucu pertamanya itu, kemudian berkelakar, ”Kowe kok bisa kawin?” Sebelum menikah, Maksum memang sudah membawa calon istrinya kepada Sjam. Sang istri sempat syok setelah tahu siapa calon mertuanya. Tapi, setelah itu ia mau menerima.

    Beberapa bulan sebelum eksekusi, September 1986, Maksum membesuk ayahnya. Sjam memberinya Al-Quran. Ia juga berpesan agar lima bersaudara itu rukun. ”Kalau adikmu butuh uang, bantu mereka. Tapi jangan dihitung utang,” Sjam berpesan. Wajahnya terlihat tenang, tak ada beban.

    Malam terakhir menjelang eksekusi, Sjam ditemani Shinta. Anak kedua itu dijemput dari Tuban oleh dua tentara. Mereka bertemu hanya 30 menit. Malam itu Shinta menangis sejadi-jadinya. Melihat itu, Sjam berujar, ”Kamu kok nangis? Semua orang nanti akan meninggal juga.”

    Setelah itu, Sjam dijemput. Tidak jelas di mana eksekusi berlangsung. Tak pula diketahui di mana Sjam dimakamkan. Shinta lalu menyampaikan kabar eksekusi itu kepada keluarga. Tapi keluarga tak pernah berusaha mencari makam Sjam. Keberadaan tas berisi uang juga tak jelas.

    Dari lima anaknya, hanya Ratna dan Laksmi yang tidak membesuk Sjam. ”Bapak tidak pernah minta mereka datang,” kata Maksum. ”Paling titip pesan atau tanya kabar.” Ratna hingga kini menetap di Bandung. Suaminya, yang masih terhitung kerabat jauh, bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Mereka dikaruniai dua anak. Laksmi menetap bersama suami dan anaknya di Tuban. Laksmi dan Shinta sama-sama lulusan IKIP Bojonegoro.

    Tapi tidak semuanya memulai rumah tangga dengan mulus. Kelana, misalnya, tiga kali diusir calon mertua setelah mengaku putra Sjam. Gara-gara itu, Kelana menyembunyikan silsilah keluarga. Ia baru membuka rahasia kepada istrinya setelah anak kedua lahir, menjelang 1990.

    Maksum dan adiknya juga merahasiakan sosok Sjam kepada anak mereka. Cucu pertama Sjam baru tahu siapa eyangnya setelah Tempo mendatangi Maksum. Begitu pula di lingkungan kerja. Anak-anak Sjam kini masih membungkus rapat siapa ayah mereka. Sesuai dengan permintaan, Maksum, Kelana, Ratna, Shinta, dan Laksmi pun hanya nama samaran. ”Tekanan psikologis prahara politik ini begitu hebat,” katanya.

    Kesaksian Sjam

    John Roosa

  • Dosen sejarah di Universitas British Colombia, Kanada, dan penulis buku Dalih Pembunuhan Massal (2008). Tentang buku itu, lihat http://johnroosa-dpm.blogspot.com.

    IA duduk di kursi saksi di pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang mengadili Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia Sudisman, Juli 1967. Itulah untuk pertama kali ia, Sjam Kamaruzaman, muncul di depan publik. Sebelum Gerakan 30 September terjadi, Sjam lebih dikenal sebagai pengusaha, komisaris PT Suseno, perusahaan penjual genting di Pintu Air, Jakarta Pusat.

    Setelah G30S gagal, selama satu setengah tahun ia bergerak di bawah tanah sebelum akhirnya ditangkap pada sebuah malam, Maret 1967, di Cimahi, Jawa Barat. Tak seorang pun di antara pengunjung yang hadir di pengadilan Sudisman pernah melihat Sjam sebelumnya. Hari itu ia seperti pesulap—datang tiba-tiba, entah dari mana.

    Di pengadilan Sudisman, sudah beredar kabar bahwa seorang bernama Sjam memainkan peranan kunci dalam G30S. Pembela dan saksi-saksi dalam sidang Mahmilub sebelumnya telah pula menyebut bahwa Sjam adalah seorang sipil, bagian dari kelompok inti G30S yang bertemu di Halim, 1 Oktober 1965. Namun banyak yang berasumsi bahwa ”Sjam” adalah nama samaran dari petinggi PKI yang sudah dikenal luas. Soalnya, tak seorang pun petinggi PKI bernama Sjam. Tapi hari itu di ruang pengadilan ia muncul dan mengaku sebagai Sjam yang asli dan satu-satunya.

    Para pengamat di pengadilan bertanya-tanya kesaksian apa yang akan diberikan Sjam. Akankah ia tutup mulut dan tetap misterius? Atau akankah ia menjelaskan perannya dalam G30S dan menerangkan hubungannya dengan PKI? Akankah ia menjelaskan hubungannya sebagai warga sipil dengan militer dalam merencanakan G30S?

    Kesaksiannya sungguh mengejutkan. Ia mengaku ketua badan rahasia di dalam PKI yang bernama Biro Chusus dan bekerja di bawah komando Ketua PKI, D.N. Aidit. Sjam menekankan bahwa Biro Chusus adalah ”aparat ketua partai” dan sama sekali tak punya hubungan dengan Politbiro atau Comite Central PKI. Sebelum kesaksian Sjam itu tak seorang pun pernah mendengar soal Biro Chusus. Dalam propaganda militer sebelum Juli 1967, juga dalam koran dan sejumlah pernyataan di pengadilan G30S, saya tak pernah menemukan nama Biro Chusus disebut-sebut.

    Sjam bicara panjang-lebar ketika hakim ketua memintanya menjelaskan tugas Biro Chusus. Ia menjelaskan bagaimana Biro Chusus berhubungan dengan aparat militer. Juga soal bagaimana ia mendapat informasi tentang perwira mana yang pro dan anti-PKI, meminta bantuan tentara dan membujuk sejumlah perwira untuk mendukung PKI. Perusahaan genting yang ia pimpin hanyalah alat untuk mencari uang buat Biro Chusus dan sarana untuk menyamarkan hubungannya dengan perwira-perwira militer.

    Sjam juga mengklaim bahwa dialah orang yang mengorganisasi G30S, bukan Letnan Kolonel Untung. Dia menyatakan bahwa dia diperintah oleh Aidit—satu-satunya orang di dalam PKI yang berhubungan dengan dia—untuk mengantisipasi kup oleh Dewan Jenderal dengan memobilisasi perwira militer yang progresif dan pro-Soekarno. Menjelaskan kepemimpinannya ia berkata, ”Saya pegang pimpinan politiknya dan Saudara Untung pegang pimpinan militernya, tetapi pimpinan militer ini di bawah pimpinan politik.” Katanya lagi, ”Saya sebagai pimpinan bertanggung jawab atas segala kejadian yang ada.”

    Beberapa pengamat di ruang sidang ragu atas kesaksian ini. Jika Sjam berada pada posisi yang begitu tinggi dan sensitif di dalam partai, ditunjuk dan dipercaya Aidit untuk memimpin operasi rahasia melawan militer, mengapa ia begitu saja membuka rahasia PKI? Untuk menjadi anggota PKI seseorang harus disumpah untuk menyimpan rahasia partai. Dengan posisinya itu, Sjam mestinya menghormati aturan itu lebih dari orang lain.

    Jika ia adalah sosok penting dan rahasia dalam partai, mengapa ia tak bicara seperti Sudisman yang mengutuk diktator militer Soeharto seraya memuji-muji PKI? Kesaksian Sjam tidak mengindikasikan bahwa dia adalah pendukung partai yang loyal namun menyesali, seperti yang dilakukan Sudisman, bahwa G30S telah memberikan alasan bagi tentara untuk menghancurkan PKI. Tak sekalipun ia pernah menggunakan forum pengadilan untuk meminta maaf karena tindakannya telah memberikan dampak yang mengerikan pada anggota partai yang lain.

    Pengamat yang skeptis seperti Benedict Anderson, yang hadir dalam persidangan Sudisman, curiga bahwa Sjam adalah agen tentara yang menyusup ke dalam PKI. Soalnya, kesaksian Sjam telah membenarkan sebagian dari propaganda tentara perihal kepemimpinan PKI dalam G30S. Sarjana Belanda W.F. Wertheim mencatat bahwa dalam berbagai pengadilan selama bertahun-tahun kemudian Sjam terus memberikan kesaksian yang memberatkan orang lain. Banyak tahanan politik yang percaya bahwa Sjam adalah intel tentara dan bukan anggota PKI.

    Pada masa-masa awal penelitian saya tentang G30S, saya menganggap kesaksian Sjam tak bisa diandalkan karena hanya sedikit sumber yang membenarkan kesaksian tersebut. Tapi, belakangan, ketika saya bertemu dengan kalangan internal PKI yang bisa dipercaya, saya menyadari bahwa banyak klaim dalam kesaksian Sjam yang ternyata benar. Misalnya bahwa Biro Chusus benar-benar ada, beroperasi di bawah pengawasan Aidit secara pribadi (bukan di bawah Politbiro atau Comite Central), bahwa Sjam adalah ketua biro itu dan ia adalah pengorganisasi utama G30S.

    Kesaksian Sjam yang tak akurat menurut saya adalah tentang peran Aidit dalam melaksanakan G30S. Sjam ingin menunjukkan bahwa ia hanya pelaksana Aidit. Ia tak ingin orang lain di PKI berpikir bahwa ia adalah elemen independen dalam partai. Walaupun mengaku bertanggung jawab penuh atas G30S, ia juga ingin menimpakan sebagian kesalahan kepada Aidit.

    Yang tidak digambarkan Sjam adalah perihal seberapa berpengaruh ia pada Aidit dan keputusan-keputusannya. Kita tahu, pada Agustus-September 1965, Aidit dihinggapi sejumlah pertanyaan. Di antaranya, benarkah Dewan Jenderal benar-benar ingin melancarkan kup terhadap Presiden Soekarno. Jika ya, siapa saja anggota dewan itu. Mungkinkah PKI mendahului aksi Dewan Jenderal? Apakah perwira pro-PKI dan pro-Soekarno cukup punya pasukan untuk melancarkan aksi melawan para jenderal antikomunis itu?

    Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu Aidit mengandalkan informasi dari Sjam. Aidit telah menunjuk Sjam sebagai ketua Biro Chusus dan ia mempercayai Sjam untuk menyuplai informasi tentang apa saja yang terjadi dengan perwira-perwira militer. Dari sejumlah sumber kita mengetahui bahwa Sjam kelewat yakin dan arogan dalam menyiapkan G30S. Saya mengira Sjam telah meyakinkan Aidit bahwa Dewan Jenderal itu ada, dia tahu siapa saja anggota dewan itu, dan dari sejumlah sumbernya dia yakin bahwa ada perwira militer yang mampu mendahului aksi Dewan Jenderal. Aidit tak akan membiarkan Sjam melaksanakan G30S jika ia tak percaya Sjam akan berhasil.

    Sementara itu, Sjam telah membujuk sejumlah perwira (Latief, Untung, dan Sujono) untuk bergabung dalam G30S. Sjam juga meyakinkan mereka bahwa PKI sepenuhnya berada di belakang G30S. PKI tak akan membiarkan aksi mereka gagal. Sjam, sebagai mediator antara Aidit dan perwira militer, telah ”membodohi” kedua pihak untuk berpikir bahwa ada pihak lain yang bakal ambil peranan dalam G30S.

    Penjelasan Sjam tentang organisasi G30S tidaklah sama dengan versi yang dikemukakan rezim Soeharto. Sjam hanya melibatkan Aidit dan Biro Chusus. Ia tidak melibatkan Politbiro, Comite Central, dan partai secara keseluruhan. G30S bukanlah revolusi sosial oleh PKI dalam arti luas. G30S hanyalah aksi kecil, terbatas, klandestin yang sebelumnya tidak diketahui oleh anggota dan kebanyakan pimpinan PKI. Soeharto dan kelompoknya membesar-besarkan G30S agar ia punya alasan untuk melaksanakan rencananya sendiri, yakni menghancurkan PKI dan menyingkirkan Presiden Soekarno. Tapi itu cerita lain lagi.

    Dalam kesaksiannya di pengadilan, Sjam menyebutkan Polisi Militer telah merampas buku catatan yang ia tulis pada saat menyiapkan G30S. Dalam berita acara pemeriksaan (Agustus 1967) secara garis besar ia telah menyampaikan isi catatan tersebut. Buku ini adalah dokumen utama dan terpenting tentang G30S yang tak pernah dibuka kepada publik. Mengapa buku itu tetap dirahasiakan? Masihkah Polisi Militer menyimpannya? Masyarakat Indonesia berhak melihat buku catatan yang bersejarah itu.

  • Rumah Teralis Bunga Teratai


    Rumah keluarga Sjam masih berdiri tegak di Pramuka Jati. Diambil alih polisi militer penggerebeknya.

    IA selalu berdoa tiap kali melewati deretan tiga rumah, setengah kilometer dari Stasiun Kramat, Jakarta Pusat, itu. Dari atas kereta api Bekasi-Senen, kendaraannya menuju kantor setiap hari, ia mengenang rumah masa kecilnya. ”Saya berdoa: Ya Allah, kalau memang rumah itu milik kami, kembalikanlah,” kata lelaki itu, Kelana, putra keempat Sjam Kamaruzaman, yang nama aslinya kami samarkan.

    Keluarga Sjam tinggal di Jalan Pramuka Jati itu pada 1960-1969. Sebelumnya, mereka berpindah-pindah tinggal di Kemayoran (Jakarta Utara), Jatinegara (Jakarta Timur), dan Paseban (Jakarta Pusat). Kelana lahir pada tahun pertama keluarga itu tinggal di Pramuka Jati. Tanahnya 900 meter persegi, yang kini sudah dibagi tiga.

    Beberapa waktu setelah Gerakan 30 September meletus, pasukan Corps Polisi Militer menggerebek rumah itu. Empat anggota pasukan Detasemen Pelaksana Intelijen Polisi Militer, yakni Arneld Najir, Suyadi, Gatot Wiyono (almarhum), dan Hadi Suwito, kemudian mengambil alih rumah. Mereka membagi rumah dan tanah itu menjadi tiga bagian.

    Empat intel Polisi Militer itu awalnya terlibat pada Operasi Kalong. Tugasnya mengintai keberadaan Sjam di Pramuka Jati. Untuk keperluan itu, mereka menyewa sebuah rumah kecil di seberang rumah Sjam. Hanya rel kereta api memisahkan dua rumah ini.

    Rumah yang dihuni istri kedua Sjam dan lima anaknya digerebek menjelang magrib. Puluhan anggota Corps Polisi Militer Gajah Mada terlibat dalam operasi ini. Ratusan penduduk menonton penggerebekan dari seberang rel. Maksum, putra pertama Sjam, yang namanya juga kami samarkan, mengaku ketakutan melihat kerumunan massa. Budi Santoso, 79 tahun, penduduk Pramuka Jati yang dulu ikut berkerumun, mengatakan, ”Massa marah dengan Partai Komunis Indonesia dan kami kaget dengan keterlibatan tetangga kami.”

    Pasukan Polisi Militer Gajah Mada bertahan satu hari di rumah Sjam. Hari berikutnya, pasukan Polisi Militer Siliwangi gantian berjaga. Sepekan setelah itu, kelompok Arneld, Suyadi, Gatot, dan Hadi menghuni rumah itu bersama keluarga masing-masing.

    Arneld mengatakan kepindahannya didasari surat perintah yang ditandatangani Direktur Polisi Militer Asisten II Kolonel CPM Budiono. Surat itu diterbitkan pada 20 November 1965. ”Tapi kami sudah bertugas beberapa waktu sebelum itu,” kata Arneld.

    Menurut Suyadi, tugas utama mereka mencari data dan dokumen milik Sjam. Semua buku Sjam diangkut ke pos Polisi Militer. Buku berbahasa Belanda, Cina, dan Rusia diangkut dalam satu mobil jip penuh.

    Sjam dan istrinya memang gemar membaca. Mereka memiliki perpustakaan 2 x 3 meter persegi. Biasanya Sjam membaca dari petang hingga pukul 21.00. ”Saya pernah melihat Bapak membaca buku mengenai strategi militer Sun Tzu,” ujar Maksum. Selain mengangkut buku-buku, kata Maksum, para anggota Polisi Militer mengambil sepatu kulit Sjam. Sepatu hitam berbulu dari Jepang juga diangkut.

    Sejak kepindahan empat keluarga Polisi Militer itu, anak-anak Sjam tersingkir. Para intel sering berbicara kasar. Awalnya lima anak Sjam menempati dua kamar dari delapan kamar di rumah itu. Belakangan mereka hanya boleh tinggal di garasi. Pada 1969, mereka terpaksa keluar dari rumah itu.

    Menurut Arneld, Polisi Militer menganggap rumah Sjam sebagai sitaan negara. Rumah itu lalu dijadikan asrama kesatuan. Setelah tinggal hampir sepuluh tahun, empat keluarga tersebut mengajukan surat permohonan untuk membeli rumah ”milik negara” itu. Surat ditujukan ke Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Surjadi Soedirdja.

    Panglima Kodam setuju para anggota Polisi Militer membeli tanah ke negara. Saat mengurus sertifikat rumah ke dinas agraria, mereka diminta menyertakan bukti jual-beli dengan pihak hak waris. Suyadi pun giat mencari Kelana. Pada 1988, usaha ini berhasil.

    Menurut Kelana, para anggota Polisi Militer itu menemuinya di kantor tempatnya bekerja. Mereka menyatakan membayar Rp 3-5 juta untuk ”membeli” rumah. ”Itu pun dicicil Rp 100 ribu setiap bulan,” katanya.

    l l l

    HANYA Arneld yang hingga kini masih menempati satu dari tiga rumah itu. Pensiunan letnan dua ini mendapat ”jatah” sekitar 290 meter persegi. Dulunya ini lahan kosong yang pernah dipakai menjadi garasi mobil keluarga Sjam. ”Awal saya menempati, bangunannya hanya dikelilingi tembok setengah badan dan jeruji kawat di bagian atas,” ujar Arneld, 67 tahun. Kini di lahan itu dibangun sebuah rumah berlantai marmer merah tua, berpagar besi hijau-kuning.

    Suyadi dan Gatot bersama-sama menempati rumah utama Sjam. Adapun Hadi menempati satu sisi lainnya. Sejak 1994, rumah Suyadi dan Gatot itu dijual. Pembeli pertama bernama Azis, pemilik sebuah usaha percetakan, dengan nilai jual Rp 260 juta. Empat tahun kemudian, rumah dijual lagi ke Budi Yulianto, distributor alat-alat kesehatan.

    Rumah ”jatah” Hadi Suwito awalnya menyatu dengan rumah utama yang ditempati Suyadi dan Gatot. Ini rumah dengan tiga kamar tidur plus sebuah garasi. Luasnya sekitar 200 meter persegi. Pria 68 tahun yang kini tinggal di Trenggalek, Jawa Timur, itu menjualnya pada 1995. Pemilik barunya kini menyewakan rumah itu untuk kantor redaksi majalah Tarbawi.

    Teralis jendela berbentuk dua bunga teratai masih menempel di tembok ruang tamu rumah keluarga Sjam. Membingkai jendela ukuran 1 x 3,5 meter, teralis ini kenangan masa kecil yang paling diingat anak-anak Sjam. Istri Sjam, Enok Jutianah, memesan khusus teralis itu ke tukang las. ”Ibu yang mendesain. Dia pelukis,” kata Maksum.

    Kenangan teralis sangat dalam. Maksum mengatakan itulah peninggalan terakhir sang ibu yang meninggal pada usia 37 tahun, setahun sebelum Gerakan 30 September. Setiap lekukan rumah Sjam juga dibiarkan tak berubah setelah ditinggalkan hampir 40 tahun. Bangunan masih terlihat kukuh.

    Seluruh kusen, pintu, dan jendela rumah terbuat dari kayu jati. Tak terlihat satu bagian pun lapuk dimakan usia. Ubin yang dipasangi keramik putih pun masih terlihat mengkilap.

    Hampir 29 tahun menempati rumah Sjam, Suyadi hanya sekali mengubah warna cat. ”Rumah ini kan bersejarah, pernah beberapa kali dipakai rapat PKI,” kata pria 73 tahun yang kini tinggal di Kompleks Pasukan Pengamanan Presiden, Kramat Jati, Jakarta Timur, itu.

    Keluarga Suyadi dan Gatot pun tak mengubah bangunan. Mereka hanya membagi rumah yang awalnya terdiri atas lima ruangan. Selain menjadikan rumah itu tempat tinggal, Suyadi, yang pensiun dengan pangkat kapten, pernah menjadikan halaman depan rumah sebagai gudang penyimpanan bajaj pada 1970-1980.

    Toyib, pekerja Budi Yulianto, kini menempati rumah itu. Dia pun sama sekali tak memugar rumah utama. ”Kami hanya mengubah catnya menjadi hijau,” katanya. Namun ia membangun gudang penyimpanan mesin di halaman depan rumah. Di halaman belakang juga dibangun tempat penginapan yang berkapasitas tujuh orang.

    Menempati rumah itu sejak 1998, Toyib pernah menemukan kejadian ganjil. Suatu hari seorang bapak mampir dan menyatakan tertarik membeli rumah. Ketika bercakap-cakap, sang tamu memotong pembicaraan. Ia bertanya soal tiga orang pria yang menurut dia baru saja keluar dari gerbang rumah.

    ”Saya heran,” kata Toyib, ”karena saya sama sekali tak melihat ada siapa pun.” Calon pembeli pun membuang ketertarikannya karena menganggap tiga orang yang dilihatnya sebagai ”penjaga” rumah.

    Kelana masih menyimpan harapan memiliki rumah berteralis dua bunga teratai itu. Ini bukan perkara mudah, karena semua sertifikat tak lagi dikuasai keluarganya. Ia pernah diberi tahu bahwa ibunya pernah mengurus sertifikat rumah. Namun notaris yang dulu mengurusnya kini bermukim di Singapura dan tak bisa dilacak.

    Kini hanya doa yang ia punya—harapan yang selalu ia rapalkan dari atas kereta.

    Pathuk, Soeharto, Perkenalan Biasa

    MALAM semakin malam ketika dua-tiga pemuda kelompok Pathuk berjalan dalam diam, mengintai dari balik pepohonan dan bilik rumah. Mereka mencari lelaki bersuara asing yang biasanya berseragam tentara.

    Situasi seperti ini, menurut Suryoputro—nama samaran aktivis Pathuk—merupakan saat yang tepat untuk berburu tentara Jepang. Mereka, lazimnya, baru pulang dari pelesir syahwat di Kota Yogyakarta.

    Pencegatan biasanya dilakukan dua-tiga pemuda Pathuk—merujuk pada nama kawasan di Kota Gudeg itu. ”Jika ketemu anak-anak Pathuk, hampir bisa dipastikan Jepang itu mati,” kata Suryo, kini 81 tahun.

    Sjam Kamaruzaman, bekas Kepala Biro Chusus Partai Komunis Indonesia, dan beberapa pemuda Pathuk lainnya, menurut Suryoputro, gemar melakukan aksi ini. Mereka menggunakan pipa besi berisi timah cor-coran, mengendap dari belakang, lalu dhek—wasalam.…

    Suryoputro ketika itu masih siswa Sekolah Taman Siswa kelas satu. Sjam tercatat sebagai siswa di sebuah sekolah dagang. Ayah Suryoputro adalah adik bungsu Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa dan Bapak Pendidikan Nasional.

    Kelompok Pathuk, menurut Suryoputro, berjumlah sekitar 50 orang, dan banyak di antaranya murid Taman Siswa. Salah satunya Isti Sudarsini, yang juga masih kerabat Tyasno Sudarso, bekas Kepala Staf TNI Angkatan Darat.

    Aktivitas rutin para pemuda Pathuk adalah bersekolah. ”Kebanyakan anggotanya siswa sekolah menengah.” Mereka baru aktif menggalang kekuatan dan menyusun rencana pada malam hari, diam-diam, agar tak terendus intel Jepang.

    Menurut Oemiyah, istri almarhum Dajino—salah satu tokoh pemuda Pathuk—anggotanya berdiskusi tiap malam mengenai situasi politik dan keamanan. Oemiyah, 81 tahun, masih kerabat Faisal Abda’oe, bekas Direktur Utama Pertamina.

    Kelompok ini melakukan apa saja untuk mengganggu ketenangan serdadu Jepang. Misalnya mencopoti bola lampu di seputaran kawasan Kotabaru, Yogyakarta, hingga mendorong serdadu Jepang dari kereta api yang sedang melaju cepat.

    Baru berjalan setahun-dua, aksi kelompok ini tercium Ki Hajar, yang segera meminta mereka menghentikannya. Ki Hajar meminta para pemuda berlatih senjata secara benar, dengan menjadi anggota Pembela Tanah Air (Peta), bentukan Jepang.

    Ketika itu Soekarno dan beberapa pemimpin lain memang sedang berupaya menjalin kerja sama dengan Jepang untuk mencapai kemerdekaan. Sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, para pemuda dan masyarakat berunjuk rasa, berupaya menurunkan bendera Jepang di Gedung Agung, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan.

    Bersama Munir, yang kemudian menjadi Ketua Umum Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia—yang berafiliasi dengan PKI—Sjam ikut meminta mundur tentara Peta yang berjaga. Agar terlihat meyakinkan, mereka menunjukkan senapan yang mereka curi dari tangsi militer Jepang.

    Akhirnya tentara Peta mau menyingkir. Melihat orang yang jumlahnya ribuan dan terus bertambah, pasukan Jepang dan pejabatnya menyingkir keluar dari gedung. Sang Merah Putih berkibar di tiang bendera, menggantikan bendera Jepang.

    Karena banyaknya senjata yang dapat dirampas atau dicuri dari Jepang, menurut Suryoputro, para pemuda bekerja sama dengan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Resimen di Yogyakarta. ”Dari sinilah perkenalan teman-teman dengan Soeharto.”

    Demikian pula Sjam Kamaruzaman berkenalan dengan Soeharto. Tapi, menurut Suryoputro, perkenalan itu tidak intensif, cuma sebatas perkenalan biasa.

    Intel ’Penggarap’ Tentara


    Ia mempengaruhi tentara agar menyokong Partai Komunis Indonesia. Perwira yang setia kepadanya dibantu naik pangkat.

    SEPUCUK surat kawat tiba di meja Brigadir Jenderal Supardjo. Akhir September 1965, Panglima Komando Tempur IV Komando Mandala Siaga ini berada di Kalimantan Barat, dekat perbatasan Indonesia-Malaysia. Konfrontasi kedua negara memang sedang panas-panasnya. Isi surat: meminta Supardjo segera pulang. Sang pengirim: istri tercinta di Jakarta.

    Adalah Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia, Sjam Kamaruzaman, yang meminta Supardjo pulang. Pekan ketiga September 1965, istri Supardjo berkunjung ke rumah Sjam. ”Kesempatan ini saya pergunakan (untuk meminta) dia mengirim kawat ke Supardjo,” kata Sjam kepada Tim Pemeriksa Pusat, Agustus 1967.

    Setiba di Jakarta, dua malam sebelum pecah G30S, Supardjo langsung ke rumah Sjam. Saat itulah, kata Sjam, Supardjo ia beri tahu rencana gerakan. Sjam meminta Supardjo pada 30 September malam datang ke rumahnya.

    Belakangan, ada yang menyebut Supardjo adalah jenderal pemimpin gerakan itu. Memang, masih ada debat soal peran Supardjo ini. Tapi kedekatan Sjam dan Supardjo sudah menjadi rahasia umum. Supardjo adalah contoh sukses reputasi Sjam dalam mempengaruhi militer.

    Menurut Suryoputro, nama samaran, 81 tahun, kedekatan Sjam dengan militer telah dimulai ketika Sjam menjadi anggota Kelompok Pathuk pada masa revolusi. Pathuk adalah kumpulan diskusi anak muda yang dipimpin Djohan Sjahroezah dan Dayino, aktivis Partai Sosialis Indonesia, di kampung Pathuk, Yogyakarta. Teman-teman Pathuk yang masuk tentara inilah yang kemudian dijadikan Sjam sebagai bagian dari jaringan rahasianya.

    A.M. Hanafi—Duta Besar Indonesia di Kuba pada 1965—dalam bukunya AM Hanafi Menggugat bercerita bahwa ia mengenal Sjam sejak 1946 di Yogyakarta. Hanafi mengenal persis Kelompok Pathuk. Kelompok inilah yang mendorong Sultan Hamengku Buwono IX mengajak tentara di bawah Soeharto berdiplomasi dengan Jepang agar menyerahkan senjata, setelah kalah digempur Sekutu. Di antara pemuda itu terseliplah Sjamsul Qomar Mubaidah atau Sjam. ”Soeharto mengenal Sjam sejak awal kemerdekaan,” katanya.

    Anggota tim Mahkamah Militer Luar Biasa, Subono Mantovani, dalam AM Hanafi Menggugat, mengaku pernah melihat foto Sjam ketika masih di Yogyakarta. Sjam, kata Subono, adalah intel di Resimen 22 Brigade 10 Divisi Diponegoro berpangkat letnan satu. Subono saat itu juga berpangkat letnan satu dan bersama Sjam dan Soeharto ikut dalam Kelompok Pathuk. Sekitar 1949, Sjam berkenalan dengan Aidit, yang kemudian mengajaknya masuk Pemuda Tani—organisasi yang berafiliasi pada Barisan Tani Indonesia, organisasi sayap PKI.

    l l l

    DALAM berita acara pemeriksaan Agustus 1967, Sjam mengatakan Biro Chusus PKI dibentuk akhir 1964. Partai, kata Sjam, melihat sejak 1950 banyak tentara masuk PKI. Mereka umumnya diorganisasi oleh komite partai di daerah, tapi perannya tak maksimal.

    Sjam lalu mendapat tugas dari Ketua Comite Central PKI, D.N. Aidit, untuk mempelajari dan mengorganisasi secara tepat para tentara itu. Ia bersama Pono dan Bono, dua orang inti Biro Chusus lain, kemudian ”menggarap” tentara. Kehebatan ketiganya dalam ”menembus” militer ditandai dengan peran mereka sebagai intel tentara. Posisi ini membuat mereka leluasa keluar-masuk markas militer. ”Mereka punya kontak jenderal, kolonel, kapten, hingga prajurit di lapis bawah,” kata Hasan, nama samaran, seorang sumber John Roosa, penulis buku Dalih Pembunuhan Massal.

    Hubungan antara Sjam dan militer ini saling menguntungkan. Relasi Sjam dan Supardjo bisa dijadikan contoh. Supardjo misalnya pernah menjadi komandan tentara untuk daerah Garut, Jawa Barat, dalam memberantas Darul Islam. Supardjo dengan bantuan kader-kader PKI militan menggunakan taktik pagar betis pada awal 1960-an untuk memadamkan pemberontakan ini. Sjam bertugas memasok informasi seputar Darul Islam dan jaringannya.

    Supardjo, yang sukses menghancurkan Darul Islam, mendapat dukungan Sjam, melalui koneksi militernya, untuk naik pangkat. Setelah penghancuran Darul Islam, Supardjo diangkat menjadi Panglima Pasukan Gabungan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Pangkatnya naik dari kolonel menjadi brigadir jenderal. ”Supardjo merasa berutang budi kepada Sjam,” kata Hasan. Dalam persidangannya pasca-G30S, Supardjo membenarkan kedekatannya dengan Sjam. Ia misalnya menggunakan Sjam sebagai sumber intelijen. Di mata Supardjo, Sjam orang yang punya banyak koneksi dan informasi tentang politik dan militer.

    Menurut Sjam dalam kesaksiannya kepada penyidik, pemimpin Biro Chusus berusaha membantu kenaikan pangkat anggota-anggotanya. Kolonel Latief, misalnya, yang semula bertugas di Jawa Tengah, bisa dipindahkan ke Kodam Jaya karena bantuan seorang perwira yang memiliki kontak dengan Biro Chusus. Sjam menyatakan tidak kenal perwira ini. Tapi perwira tadi berkolaborasi dengan Kolonel Pranoto, yang bekerja di bagian personalia Staf Umum Angkatan Darat.

    Latief, seperti juga letnan Kolonel Untung dan Mayor Sujono, adalah ”binaan” Pono. Latief digarap sejak menjadi Komandan Brigade Infanteri Angkatan Darat Kodam V Jakarta Raya, Untung sejak bertugas di Cakrabirawa, dan Sujono sejak 1963. Kapten Wahyudi dan Mayor Agus Sigit dididik Pono sejak 1963. Latief, Untung, dan Sujono adalah tentara yang sudah menjadi anggota PKI. ”Yang lain belum saya pastikan, tapi yang jelas mereka simpatisan partai,” kata Sjam.

    Kepada penyidik, Sjam mengaku memiliki banyak pengikut di tubuh militer. Sebelum G30S, Sjam telah merekrut dua peleton Brigade 1 Kodam Jaya, satu kompi Batalion 1 Cakrabirawa, lima kompi Batalion 454 Diponegoro Jawa Tengah, lima kompi Batalion 530 Brawijaya Jawa Timur, dan satu batalion Angkatan Udara. Tapi, karena tak dirancang dengan saksama, pengikut itu tak berdaya di hari puncak aksi G30S.

    Nyanyian God Father Blok III


    Sjam banyak membuka informasi rahasia Biro Chusus Partai Komunis Indonesia. Dilaporkan ke Jenderal Soeharto.

    PETUGAS Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat, itu tiba-tiba mencabut televisi hitam-putih. Benda hiburan penting para tahanan tersebut diangkut. Mereka juga memelontosi penghuni sel. Semua gara-gara para pendatang baru: rombongan mahasiswa yang dijebloskan setelah peristiwa kerusuhan 15 Januari 1974 atau dikenal dengan Peristiwa Malari.

    Mahasiswa-mahasiswa itu dinyatakan bersalah karena mengalahkan para sipir penjara dalam pertandingan badminton. Pada pertengahan 1970-an itu, tahanan politik Partai Komunis Indonesia penghuni tahanan biasa mengalah kepada sipir. ”Para penjaga marah. Tahanan PKI menyalahkan kami,” tutur Yopie Lasut, tahanan Malari yang bebas akhir 1975.

    Di tengah ketegangan, menurut Yopie, seorang pria datang melerai. ”Ini bagus buat menyadarkan kita bahwa kita ada di Rumah Tahanan Militer, bukan di surga. Masak cuma soal TV, kita harus memusuhi mahasiswa.” Yopie mengenal pria itu adalah Sjam Kamaruzaman, tokoh PKI yang menghuni rumah tahanan sejak 1967.

    Yopie menghuni blok III tahanan, bersama dua rekannya, Salim Hutajulu dan John Pangemanan. Ada 30-an tahanan di blok itu, termasuk Sjam dan Soejono Pradigdo, Ketua Komite Daerah Besar Jakarta Raya. Soejono adalah teman sekamar dan ”asisten” Sjam. Aktivis Malari, Marsillam Simandjuntak, Hariman Siregar, Syahrir, dan Rahman Tolleng, menghuni blok lain.

    Salim melihat Sjam mirip ”god father” dan ”penguasa yang disegani bahkan ditakuti para tahanan”. Tahanan sipil ataupun militer, ia mengatakan, sering kali minta nasihat dan perlindungan kepada Sjam. Forum ”konsultasi” itu biasanya digelar saat bermain gaple di kamar Sjam.

    Sjam juga diperlakukan istimewa. Meski ditahan, dia bisa keluyuran keluar-masuk sel. Berbeda dengan tahanan lain yang ketakutan kalau dipanggil petugas, Sjam justru santai dan bisa senyum-senyum. ”Yang lain takut karena kalau dipanggil, pasti disiksa,” kata Salim.

    Menurut cerita Oei Tjoe Tat dalam memoarnya, Sjam terkadang ”dilepas” berkeliaran di halaman tahanan untuk mengenali para tahanan yang lain. Siapa tahu mereka salah satu dari tentara ”binaan”-nya. Tak mengherankan jika tahanan lain tidak tenteram karena nasib mereka bisa ditentukan oleh ”nyanyian” Sjam.

    Salim menguatkan cerita itu. Mungkin karena takutnya, ”Semua datang, kulo nuwun. Kalau Sjam nyebut-nyebut (nama), orang kan jadi susah.” Ia juga mengenang, Sjam punya hobi bercocok tanam. Bersama beberapa temannya, ia menyulap halaman rumah tahanan menjadi kebun sayur dan pepaya.

    Menurut Salim, di antara tahanan Rumah Tahanan Militer Budi Utomo dikenal adanya orang-orang yang ”dipelihara” jaksa. Mereka diminta mencari informasi tahanan lainnya. Bahkan ada orang PKI diberi fasili-tas untuk menjadi informan. Orang-orang itu ikut menginterogasi teman-teman mereka. ”Mungkin Sjam juga dipakai. Tapi saya yakin dia pintar mengambil manfaat untuk kepentingan sendiri,” kata Salim.

    Pada 1982 Rumah Tahanan Militer Budi Utomo dibongkar. Sjam dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta Timur. Ia pun dijauhi tahanan lain, terutama tahanan politik ”non-Biro Chusus”. Mereka menganggap Sjam terlalu banyak membocorkan adanya perwira-perwira di dalam militer, kata Hamim, anggota Biro Chusus, kepada Tempo. Sjam hanya bisa akrab dengan sesama eks Biro Chusus, seperti Hamim, Pono, dan Bono. Ada pula kawan lamanya di Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, Munir.

    Kolonel Sugondo, perwira Team Pemeriksa Pusat interogator Sjam—dalam wawancaranya dengan wartawan senior Atmadji Sumarkidjo, mengakui adanya perlakuan khusus itu. Sjam adalah kunci yang membuka misteri Biro Chusus—sesuatu yang menghubungkan organ resmi PKI dengan Untung, Komandan Pasukan Cakrabirawa yang berperan penting pada Gerakan 30 September.

    Sjam juga ”menggigit” sejumlah tentara binaan Biro Chusus. Misalnya, ia menyebut nama Sumbodo di Jawa Timur; Herman, Diro, Usman di Jawa Tengah; Saplin dan Gani di Jawa Barat; serta Suganda dan Sidik di Jakarta. ”Tentang pangkat orang-orang tersebut, saya tidak ingat lagi,” kata Sjam dalam berita acara pemeriksaan.

    Nama Sidik belakangan diketahui sebagai Kolonel Muhammad Sidik Kardi, seorang penuntut untuk Mahkamah Militer Luar Biasa. Ia ditangkap beberapa pekan kemudian, pada Agustus 1967, setelah kesaksian Sjam. Sidik dipenjara 12 tahun.

    Menurut Sugondo, pendekatan khusus kepada Sjam dilakukan secara intensif. Ia diperlakukan dengan baik. Soalnya, selama pemeriksaan awal sejak tertangkap pada Maret 1967, Sjam melakukan aksi tutup mulut. Kebiasaan interogator memeriksa dengan kekerasan tidak mempan membuka mulutnya.

    Menurut Maksum, anak pertama Sjam yang nama aslinya tak ingin disebutkan, ayahnya punya ilmu kebal. ”Saat ditangkap dan diinterogasi, Kopassus memaksa Bapak mengaku dengan kekerasan fisik. Malah mereka mental. Sejak itu, tidak ada lagi yang mencobanya,” katanya.

    Sugondo berhasil mendapat banyak informasi dari Sjam dengan pendekatan personal. Ia datang tidak sebagai interogator. Obrolan santai juga sering dilakukan di kantor Sugondo. Setiap hari Sjam hanya diajak ngobrol, berdiskusi tentang berbagai hal, ditemani kopi dan roti atau pisang goreng.

    Sjam pada awalnya jaga jarak, hanya bicara terbatas. Dalam obrolan santai itu, Sugondo membiarkan Sjam bicara dan menyampaikan pikirannya tanpa diinterupsi. Sugondo juga tidak pernah mencatat agar Sjam tidak mengerem omongan. Ia mengandalkan ingatan. Setelah sampai di rumah, barulah Sugondo menuliskan semua yang diperoleh dari Sjam.

    Hasil laporan Sugondo digunakan Tim Pemeriksa Pusat sebagai data intelijen. Data ini dilaporkan kepada Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Soeharto sekaligus disusun menjadi berita acara pemeriksaan untuk penuntutan di Mahkamah Militer Luar Biasa. Nyanyian Sjam menyapu habis PKI.

    Sjam Suka Omong Besar



    PKI belum punya kekuatan massa yang betul-betul siap berperang. Waktu itu partai hanya siap untuk demonstrasi, rapat umum, menuntut upah, melawan Amerika. Tapi, untuk suruh berperang, nanti dulu.

    DIA punya satu nama asli dan tiga nama samaran. Tapi ia hanya ingin dipanggil Hamim—salah satu nama aliasnya. ”Supaya enggak ketahuan,” katanya. Soal pentingnya punya nama palsu, ia beralasan agar hidupnya aman. ”Ketika belajar di sekolah partai di Tiongkok, saya diwajibkan memakai nama alias,” katanya. Hamim sendiri ia ambil dari nama seorang teman di Tasikmalaya, Jawa Barat. ”Sudah meninggal, saya gunakan saja nama itu, tanpa maksud apa-apa,” katanya.

    Hamim, kini 83 tahun, adalah tokoh penting dalam sejarah Gerakan 30 September. Ia adalah satu-satunya anggota Biro Chusus Partai Komunis Indonesia yang tersisa. Biro adalah badan rahasia yang dibentuk Ketua PKI D.N. Aidit untuk mempersiapkan aksi berdarah itu. Empat pengurus Biro Chusus lainnya—Sjam Kamaruzaman, Pono, Bono, dan Suwandi—sudah tak ada. Tiga yang pertama dieksekusi aparat pada 1986, sedangkan Suwandi meninggal lebih dulu. Hamim pun divonis mati, tapi bersama sejumlah tahanan politik bebas ketika Soeharto jatuh.

    Nama Hamim berkali-kali disebut Sjam ketika diperiksa aparat pada 1967. Ia ikut dalam rapat-rapat rahasia Biro Chusus menjelang 30 September. Ketika aksi itu disikat tentara pada Oktober 1965, Hamim bertahan di Jakarta, sedangkan Sjam lari ke Jawa Barat.

    Ditemui wartawan Tempo, Ahmad Taufik, Anwar Siswadi, dan fotografer Aditya Herlambang Putra di rumahnya di Tasikmalaya, Ahad dua pekan lalu, Hamim bicara panjang-lebar tentang Biro Chusus dan peran Sjam Kamaruzaman.

    Kapan Anda menjadi anggota PKI?

    Mei 1948 saya mendaftar menjadi anggota Partai Komunis Indonesia. Sjam juga masuk PKI pada 1948, tapi waktu itu saya belum kenal dia.

    Kapan Anda kenal Sjam?

    Waktu mengajar di Sekolah Partai Central di Jalan Padang, Jakarta, saya dipanggil ke rumahnya di Paseban, Jakarta Pusat. Sjam bilang, ”Bung dapat tugas untuk bagian pendidikan. Bung nanti mengurusi sekolah partai, mendidik perwira dan kader-kader daerah.” Waktu itu saya mengajar perihal masyarakat Indonesia dan revolusi Indonesia.

    Bagaimana kesan Anda terhadap Sjam?

    Sjam bos saya, Ketua Biro Chusus. Wajahnya menakutkan, orangnya hitam, matanya besar. Dia itu seperti militer di Biro Chusus. Ia mengutamakan sentralisme daripada demokrasi. Walaupun dia bukan militer, caranya di Biro Chusus kayak militer. Disiplinnya kuat.

    Dia suka marah?

    Kepemimpinannya keras. Kalau saya bikin kesalahan, dia memaki-maki bahkan di depan orang. ”Ini salah! Itu salah!” katanya.

    Dia orang yang bisa dipercaya?

    Bung Sjam suka membesar-besarkan garapannya (pengaruh—Red.) terhadap militer. Sifatnya sombong. Dia suka bombastis, omong besar.

    Contohnya?

    Menjelang G30S, dia pernah bilang kepada saya, ”Bung enggak usah takut, kita sudah punya tentara. Dengan tentara, kita bisa berbuat apa saja.” Ia mengatakan enggak usah ngikutin Tiongkok atau Vietnam. Kita sendiri punya beberapa jenderal yang prokomunis.

    Keadaan sebenarnya saat itu?

    Sebetulnya G30S itu belum matang. Persiapan hanya dua bulan: Agustus dan September 1965. Pada sebuah diskusi tentang G30S, Sjam bertanya kepada saya, ”Apakah Bung siap mengadakan gerakan militer terhadap pemerintah sekarang?” Saya bilang siap saja asalkan ada dukungan. Tapi saat itu, untuk melancarkan gerakan militer, massa (di bawah) belum matang.

    Maksud Anda?

    PKI belum punya kekuatan massa yang betul-betul siap berperang. Waktu itu partai hanya siap untuk demonstrasi, rapat umum, menuntut upah, melawan Amerika. Tapi, untuk suruh berperang, nanti dulu. Taruhannya mati. Untuk melatih rakyat berperang, tidak bisa sebulan-dua bulan, harus dipersiapkan tahunan. Mengajak rakyat berperang kan mengubah pikiran dari cara damai ke cara kekerasan. Semua butuh waktu.

    Mendengar jawaban Anda, apa reaksi Sjam?

    Dia marah. ”Bung belum bertempur, sudah takut!” Yang juga menentang usul Sjam adalah Suwandi. Ketika ditegur Sjam, saya diam saja. Sjam, Pono, dan Bono setuju gerakan militer yang sudah disiapkan tentara. Tapi saya bertanya: akan berperang, kok, massa tidak ikut? Kita perlu belajar dari Tiongkok. Di sana rakyat yang berperang, tentara cuma jadi promotor.

    Kesan Anda terhadap Sjam?

    Sjam itu sombong dan enggak mau belajar teori. Dia bercerita pernah kerja di Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran Tanjung Priok. Dia pernah menyelamatkan Aidit lalu disuruh mengawal Aidit. Dia sobat kental Aidit.

    Apa sebenarnya Biro Chusus itu?

    Orang yang masuk Biro Chusus adalah orang pilihan. Sebelum masuk, mereka dilatih dan diamati. Biro Chusus dulunya badan militer PKI. Biro ini ilegal (rahasia) karena mengurusi tentara dan mempengaruhi tentara. Bahwa PKI ada juga di tentara, itu kan tertutup. Sjam yang memegang peran utama. Dia hubungannya langsung dengan Aidit. Empat lainnya tak boleh tahu apa yang diomongkan Aidit dengan Sjam. Biro Chusus adalah alat Aidit untuk bisa menguasai partai.

    Siapa saja yang mengetahui keberadaan Biro Chusus?

    Biro Chusus ada sejak 1964 dengan tugas membantu Ketua Partai D.N. Aidit. Sjam adalah tangan kanan atau orang tepercaya ketua partai. Jadi yang tahu adanya Biro Chusus itu cuma Aidit dan beberapa temannya yang dipercaya, misalnya Sudisman (sekretaris jenderal) dan Oloan Hutapea (anggota Politbiro). Dari 18 anggota Politbiro PKI, paling cuma tiga orang yang tahu.

    Siapa saja anggota Biro Chusus?

    Biro Chusus itu terdiri atas Sjam (ketua), Pono (wakil ketua), Bono (sekretaris), Suwandi (keuangan), dan saya (pendidikan). Saya termasuk baru dalam Biro Chusus. Tadinya saya guru di Sekolah Partai Central (semacam kursus ideologi milik PKI—Red.). Sjam, Pono, dan Bono sudah dihukum mati. Wandi sudah meninggal. Yang sekarang ada tinggal saya. Entah sampai kapan saya hidup, ha-ha-ha…. Tiga orang terpenting dalam Biro Chusus adalah Sjam, Pono, dan Bono. Mereka menguasai segala hal, termasuk yang memimpin operasi militer. Wandi mengurus usaha, seperti pabrik dan bengkel. Saya bidang teori dan pendidikan.

    Anda sempat ditahan bersama Sjam di penjara Cipinang?

    Saat di Cipinang, saya ketemu dengan Sjam. Ngobrol-ngobrol. Dia bilang, ”Sekarang ini bagaimana caranya untuk memperlambat eksekusi mati. Karena itu, saya bikin keterangan yang macam-macam supaya mereka (tentara) bingung.” Dari situ saya tahu dia itu penakut. Saya balas: ”Bung, Anda dulu ngomong penjara atau mati. Sekarang Bung ngomong supaya tidak segera dieksekusi.”

    Menurut Sjam, pengakuan apa yang dia berikan kepada tentara?

    Dia bilang bahwa dia intel ABRI. Jadi double agent. Padahal enggak betul. Bahwa dia menyamar sebagai intel ABRI itu kamuflase. Perwira intel memberi dia surat (keterangan) sebagai intel agar dia bisa ke mana-mana, termasuk masuk pos tentara.

    Anda menganggap Sjam pengkhianat?

    Omongannya enggak pernah sesuai. Dulu dia bilang, ”Masuk Biro Chusus itu konsekuensinya penjara atau mati.” Saya jawab, ”Untuk partai, sih, apa saja saya lakukan.” Tapi, setelah itu, saat menghadapi hukuman mati, dia gentar. Dia dihukum tembak pada 1986 bareng Pono, Bono, dan seorang kolonel AURI. Sjam yang bombastis dan suka marah-marah ternyata waktu menghadapi kematian menjadi oportunis.

    Anda ditahan dalam sel yang terpisah dengan Sjam?

    Pernah Munir (tahanan politik PKI—Red.), Bono, Sjam, dan saya dalam satu kamar. Di situ saya banyak ngomong dengan Sjam. Tapi orang lain enggak ada yang mau ngomong dengan dia. Sjam mereka anggap terlalu banyak membocorkan keberadaan perwira militer dalam tubuh PKI.

    Gerakan dengan Tiga Pita

    Detik2 G 30 S / PKI

    LETNAN Kolonel Untung membagi tiga pasukannya. Mereka mengenakan tiga pita tanda: merah untuk malam, kuning untuk siang, dan hijau untuk sore. Untung memimpin pasukannya dari Gedung Penas, kawasan Cawang, Jakarta Timur.

    Jalan Medan Merdeka Utara
    Istana
    Satu kompi Cakrabirawa dan sekitar 700 anggota Kodam Brawijaya, Jawa Timur, mengepung Istana. Istana kosong, karena Presiden Soekarno meninggalkan tempat ini sejak pagi. Lepas tengah hari, pasukan ini malah bergabung ke Markas Kostrad.

    Jalan Medan Merdeka Selatan
    Gambir
    Juga diduduki oleh pasukan Kodam Brawijaya.

    Markas Kostrad
    Markas Mayor Jenderal Soeharto, perwira tinggi yang tidak menjadi target operasi G30S.

    Gedung RRI
    Diduduki sepuluh jam sejak pagi, antara lain dimanfaatkan untuk pengumuman pembentukan Dewan Revolusi.

    Pasukan TNI di Jakarta
    Jika terjadi bentrok, inilah kekuatan TNI yang akan dihadapi oleh G30S.

    • 4 kompi (400 orang) Brimob
    • 1 batalion Kavaleri Angkatan Darat
    • 1 batalion Artileri Angkatan Darat
    • 2 batalion Infanteri Kodam, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD),
    • Pasukan Gerak Cepat Angkatan Udara
    • 1 Batalion Pasukan Pertahanan Pangkalan Angkatan Udara
    • 3 Batalion Cakrabirawa, KKO (Marinir)

    (1 batalion =700 orang)

    1. Pasopati
      Dipimpin Dul Arif, pasukan ini bertugas menangkap tujuh perwira tinggi TNI Angkatan Darat, yang disebut sebagai anggota ”Dewan Jenderal”. Terdiri atas anggota Resimen Cakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden.
    2. Bimasakti
      Dipimpin Suradi, anggotanya pasukan sukarelawan plus dua batalion dari Kodam Diponegoro dan Kodam Brawijaya. Tugasnya mengawal kawasan Lapangan Monas dan menjaga sejumlah sektor. Juga merebut gedung RRI, stasiun kereta api Gambir, serta pusat telekomunikasi di Jalan M.H. Thamrin.
    3. Gatotkatja
      Bertugas sebagai pasukan cadangan, dipimpin Gatot Sukrisno. Personelnya diambil dari Pasukan Pengawal Pangkalan Angkatan Udara dan Sukarelawan Bersenjata. Ditempatkan di sekitar Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

    Dua Malam Sjam

    Inilah kronologi pelaksanaan Gerakan 30 September versi Sjam Kamaruzaman. Hanya dalam hitungan jam, gerakan ini gagal dan langsung ditaklukkan.

    30 September 1965

    24.00
    Pengarahan terakhir diberikan di Pondok Gede, Jakarta Timur. Hadir Sjam, Pono, Latif, Supardjo, Sujono, Dul Arif, Suradi, dan Gatot Sukrisna.

    1 Oktober 1965

    02.00
    Central Komando di Gedung Penas mulai bekerja: Sjam, Pono, Latif, Supardjo, Sujono. Mereka menunggu laporan hasil operasi pasukan Pasopati pimpinan Dul Arif.

    06.00
    Masuk laporan dari Pasopati bahwa Jenderal Abdul Haris Nasution, target utama operasi, lolos. Enam jenderal lainnya ditangkap atau ditembak mati. Mereka yang hidup akhirnya juga ditembak.

    10.00
    Central Komando pindah ke Halim.

    12.00
    Presiden Soekarno memerintahkan gerakan dihentikan. Pasukan dari Batalion 530 Brawijaya sudah menyeberang ke Markas Kostrad.

    18.00
    Menerima laporan bahwa pasukan Kostrad dan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat mulai mengepung Halim.

    20.00
    Sjam Kamaruzaman melapor ke Aidit soal gagalnya gerakan.

    21.00
    Sjam memerintahkan Sujono mencari pesawat untuk melarikan Aidit ke Yogyakarta.

    22.00
    Sjam memimpin rapat membahas pengunduran diri dari Halim ke Pondok Gede.

    2 Oktober 1965

    01.00
    Aidit terbang ke Yogyakarta.

    02.00
    Sjam dan Supardjo lari ke Pondok Gede dengan jip.

    Posisi pasukan G30S di Jakarta

    Kawasan Monas

  • Pasukan Bimasakti

    Menteng

  • Pasukan Pasopati

    Pangkalan Halim Perdanakusuma

  • Pasukan Gatotkatja yang terdiri atas sekitar 700 anggota Kodam Diponegoro, Jawa Tengah. Sekitar 700 anggota Pasukan Pengawal Pangkalan Angkatan Udara dan 800-1.000 sukarelawan bersenjata.
  • Agen Merah Penyusup Tentara

    DESEMBER 1964, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh bertikai hebat dengan Menteri Negara Dipa Nusantara Aidit dalam sebuah rapat kabinet. Chairul, tokoh Partai Murba yang antikomunis, menyodorkan segepok dokumen dan menuding Ketua Partai Komunis Indonesia diam-diam merencanakan kudeta. Aidit membantah.

    Bisa terjadi baku pukul andai Presiden Soekarno tak melerai. ”Semua yang dibicarakan di sini tak boleh sampai keluar,” kata Soekarno, keras. Sebuah tim investigasi militer lalu diberi mandat memeriksa kesahihan tudingan Chairul. Hasilnya: Partai Komunis Indonesia dinyatakan bersih dan Chairul harus meminta maaf kepada Aidit.

    Tak banyak yang tahu bahwa lolosnya Aidit dari tudingan Chairul menjelang peralihan kekuasaan 1965 itu berkat campur tangan sebuah lembaga klandestin bentukan PKI: Biro Chusus.

    Cikal-bakal Biro Chusus adalah badan militer dari Departemen Organisasi PKI. John Roosa, sejarawan dari Universitas British Colombia, Kanada, menjelaskan bahwa sayap militer partai ini sudah berfungsi sejak 1950-an. ”Bagian militer ini tumbuh secara alamiah,” katanya.

    Menurut Roosa, pada tahun-tahun pertama Republik, banyak pemuda anggota laskar pejuang yang diterima menjadi tentara reguler. Beberapa di antara mereka bersimpati pada gerakan kiri.

    ”Ketika perang berakhir, PKI tidak mau kehilangan kontak dengan para simpatisan ini,” kata Roosa, mengutip sumbernya, seorang tokoh sentral PKI 1960-an. Untuk menjaga jaringan partai di militer itulah Aidit lalu membentuk badan khusus ini. Pemimpin pertamanya adalah Karto alias Hadi Bengkring, anggota senior PKI.

    ”Biro Chusus bertugas mengurusi, memelihara, dan merekrut anggota partai di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia secara ilegal,” kata Iskandar Subekti, panitera Politbiro PKI, dalam catatannya atas peristiwa 30 September 1965.

    Pada masa itu, apa yang dilakukan PKI bukanlah sesuatu yang aneh. Sejumlah partai lain juga punya organ khusus untuk memelihara kontak mereka dengan tentara. Partai Sosialis Indonesia salah satunya. ”Militer Indonesia pascakemerdekaan memang penuh dengan klik berdasarkan kecenderungan politik masing-masing,” kata Roosa.

    Pada 1964, setelah kematian Karto, D.N. Aidit menunjuk sahabatnya, Sjam Kamaruzaman, menjadi kepala unit ini. Sejak itulah sejumlah perubahan besar terjadi. Penetrasi PKI ke dalam tubuh militer dilakukan secara lebih sistematis. Kerahasiaan unit ini pun dijaga makin ketat.

    Lembaga eksekutif PKI, Politbiro, dan Comite Central dibiarkan tak mendapat informasi apa pun soal gerakan bawah tanah ini. Kendali hanya ada di tangan Ketua PKI. Karena itulah Aidit bisa leluasa meminta bantuan perwira merah di TNI ketika dia dituding akan mengkudeta Soekarno.

    Biro Chusus terdiri atas lima orang agen inti di tingkat pusat dan tiga anggota di setiap daerah. Di bawah Sjam sebagai ketua, ada Pono dan Bono—dua intel Biro Chusus didikan Hadi Bengkring. Dua anggota staf lain adalah Suwandi (bendahara) dan Hamim (pendidikan). Wandi dan Hamim tidak ikut menyusup ke dalam tentara. Untuk memudahkan mereka masuk ke kompleks tentara, Sjam, Pono, dan Bono punya kartu anggota militer dengan jabatan agen intelijen TNI.

    ”Jadi, kalau masuk kompleks militer, mereka tinggal bilang bahwa mereka itu adalah intelnya si ini atau si anu,” kata John Roosa, merujuk pada kesaksian mantan pemimpin elite PKI. Karena punya kartu anggota TNI itulah para agen merah ini sering dikira agen ganda.

    Sebagai kedok untuk kerja intelijen, sehari-hari Sjam mengaku saudagar pabrik genting PT Suseno di Jalan Pintu Air, kawasan Pasar Baru. Bono mengelola bengkel PT Dinamo di Jalan Kebon Jeruk—dekat Harmoni, Jakarta Pusat. Pono punya restoran, dan Hamim mengelola satu perusahaan bus.

    Biro Chusus juga mengelola usaha kontraktor dan CV Serba Guna, makelar jual-beli rumah di Gang Sentiong, Kramat, Jakarta Pusat. Dana dari perusahaan-perusahaan ini dipakai untuk menunjang operasi Biro Chusus.

    Karena itulah para tetangga lima agen ini tidak pernah menduga Sjam dan empat anggota stafnya adalah mata-mata PKI. Saban hari, setiap pukul enam pagi, seperti orang kantoran lain, mereka rutin berangkat ke kantor naik mobil pribadi. Anak-anak Sjam sendiri mengira ayahnya hanya pengusaha biasa.

    Penyamaran sempurna agen-agen Biro Chusus ini baru terbongkar ketika Soejono Pradigdo, salah satu anggota Politbiro PKI yang tertangkap paling awal, membocorkan keberadaan Biro pada Desember 1966. Sjam dicokok lima bulan kemudian, dan mulai bercerita lebih detail soal unit rahasia ini.

    Syam Kamaruzaman Anak Tuban dalam Halimun G30S

    IA datang bagai hantu: tiba-tiba, tak tentu asal. Sjam Kamaruzaman: tak banyak orang mengenal nama itu. Dua tahun setelah aksi berdarah Gerakan 30 September, ia baru muncul di depan publik. Ketika itu, Juli 1967, ia menjadi saksi dalam pengadilan Sudisman, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia.

    Sebelumnya ia hanya bayang dalam halimun: keberadaannya setengah dipercaya, setengah tidak. Biro Chusus, badan rahasia PKI yang dipimpinnya, semula diduga hanya khayalan tentara untuk memudahkan Soeharto memusnahkan partai komunis itu.

    Tapi Sjam malah membenarkan semua tudingan. Ia mengaku memimpin Biro Chusus dan merencanakan aksi rahasia G30S. Ia menyatakan berniat menculik bekas wakil presiden Mohammad Hatta dan Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, selain tujuh jenderal, pada subuh berdarah itu.

    Sebagai orang yang bertugas mempengaruhi anggota tentara agar mendukung PKI, ia punya akses ke lembaga-lembaga militer. Di dalam penjara, sementara tahanan politik lain bergidik setiap kali sesi pemeriksaan datang, Sjam menghadapinya dengan senyuman.

    Hubungannya dengan aparat militer memang bagai ”teman lama”. Seorang putranya mengenang bagaimana di penjara, Sjam menempati sel yang besar serta diizinkan memiliki uang satu tas penuh untuk memenuhi segala kebutuhan.

    Ia seperti intel dalam film Hollywood. Anak-anaknya hanya mengenal sang bapak sebagai pengusaha, pemilik perusahaan genting, bengkel, dan batu kapur. Istrinya, aktivis buruh di Pelabuhan Tanjung Priok dan pengurus Barisan Tani Indonesia, organisasi sayap PKI, dimintanya berhenti agar menyempurnakan penyamaran.

    Siapakah Sjam, lelaki dengan lima nama alias itu? Siapakah anak Tuban, Jawa Timur, yang ateis tapi dikenal pandai membaca Al-Quran itu? Adakah ia agen ganda atau sekadar penganut setia Ketua PKI D.N. Aidit?

    Tragedi G30S adalah misteri yang tabirnya tak pernah sempurna terungkap. Sjam Kamaruzaman adalah mozaik penting dalam prahara yang dipercaya telah membunuh setidaknya dua juta orang itu.

    Sabtu, 01 November 2008

    Syech Nawawi (6)


    YANG MENCARI SYEKH NAWAWI

    Oleh: Ibnu Adam Aviciena

    Suatu hari aku bertemu dengan seorang yang ingin sekali bertemu dengan Syekh Nawawi al-Bantani. Ia, Chaidar, bertutur kepadaku bagaimana keinginan kuatnya itu mempertemukan dirinya dengan Syekh Nawawi di Ma’la, Mekkah, Arab. “Hatiku bergolak selalu, seolah-olah berteriak: Kyai Nawawi! Kalau tuan bersedia menerima kedatangannku, aku pasti mampu tiba di hadapanmu, Insya Allah. Sebaliknya, bila mana aku gagal berusaha berangkat ke Mekkah, kuartikan tuan tidak rela aku datang kepadamu. Dan dengan ini terimalah salam perkenalanku dari jauh, berupa bacaan Surat Alfatihah untukmu semata-mata.”

    Chaidar memulai pencarian Syekh Nawawi dari Lasem, Jawa Tengah. Berbulan-bulan ia mencari jejak Syekh Nawawi dari Lasem hingga sampai ke Tanara, Serang. Pencarian itu dimulainya tahun 1975. Karena tidak ada jalan yang bagus ke Tanara saat itu, ia menggunakan perahu dari sungai Ciujung ditambah dengan perjalanan kaki sepanjang lima kilometer. Orang yang ditemui oleh Chaidar adalah H Barkat Ali, seorang buyut dari Syekh Nawawi. Rumahnya di dekat Masjid Jame’ di kampung Biyongbong, Desa Pamanuk, Kecamatan Carenang, Serang.

    Ia bilang kepadaku bahwa ia sangat beruntung saat itu pergi ke Tanara dan bisa bertemu dengan H Barkat Ali, sebab bila saja terlambat datang ia pasti tidak bisa bertemu dengannya, sebab H. Barkat Ali dan keluarganya akan berangkat ke Mekkah untuk bertemu dengan saudara-saudaranya di sana. Setelah bertemu dengan H Barkat Ali ia meneruskan perjalannya ke Tanara dan bertmu dengan Kiyai Ahmad, suami dari keturunan Syekh Nawawi.

    Selain ke Tanara, Chaidar juga ke Kecamatan Mauk, Tangerang, untuk bertemu dengan H. Zabidi, juga keturunan Syekh Nawawi. Juga sebelumnya ke Pasuruan, Jawa Timur, untuk bertemu dengan H Rabi’ah dan KH Ahmad Abdulmuhit di Surabaya. Selain itu, dia juga pergi ke pesantren al-Falah di desa Turus, Pandeglang. Di sana ia bertemu dengan KH Tubagus Mohammad Edrus.

    Selanjutnya, pencarian Chaidar akan Syekh Nawawi membawanya ke Mekkah pada 1976. Ia berangkat menggunakan pesawat KLM sewaan GIA. Dengan polos ia bilang kepadaku, “…bagiku benar-benar terasa asing segala-galanya. Sebab, baru kali ini aku merasakan naik pesawat terbang. Ma’lum, orang kampung. Aku sama sekali tidak menduga, bahwa di dalam psawat DC 10 itu tertampung 410 penumpang. Dan atas kehendak Allah jua, maka tempat yang kududuki dalam pesawat itupun, sama sekali di luar dugaan.”.

    Chaidar menceritakan pengalamannya di dalam pesawat, pengalaman saat dia merasa begitu dimuliakan oleh Allah. “Aku mendapat kursi di barisan tengah dan terdepan. Di kananku duduklah May. Jen. Rd. Mardanus bersama isterinya. Di kursi kiriku duduklah H. Rusli Chalil. Sebagaimana diketahui, bahwa May. Jen. Rd. Mardanus adalah wakil ketua komisi IX DPR. Dan H. Rusli Chalil adalah anggota Dewan Pertimbangan Agung dan ketua umum PERTI. Maka betapa besar hatiku di kala itu….”

    Setelah pesawat mengangkasa, Chaidar merasa lapar. Tetapi ia yakin bahwa dia akan bisa makan. Katanya, ular saja yang hidup di pohon tidak mati kelaparan, apalagi ia manusia yang hidup bersama manusia. Bila jenderal yang duduk di dekatnya diberi rezeki, kenapa dia tidak. Dia yakin Allah maha adil. Artinya, dia yakin bahwa dia bisa segera mendapatkan makanan. Lalu datang pramugari membagi-bagikan makanan dan minuman, juga rokok. Setiap penumpang mendapatkan satu bungkus rokok yang di dalamnya ada tiga batang. Maka bertambah tebalah keyakinannya.

    Sebelas jam perjalanan dari Jakarta ke Jeddah. Terlalu lama duduk Chaidar merasa tidak nyaman. Ia ingin berjalan-jalan di dalam pesawat seperti pramugari. Tapi bagaimana caranya? Ia ingat pepatah: tak kenal maka tak cinta, karena itu ia harus kenal dengan pramugari yang berkebangsaan Belanda itu. Ia juga sadar bahwa dirinya dulu pernah sekolah di taman kanak-kanak, dan salah satu gurunya di sana orang Belanda. Maka bicaralah dia kepada pramugari itu dalam bahasa Belanda. Dia bilang kepada pramugari bahwa dia ingin ke kamar kecil dan ingin diajari bagaimana menggunakan kamar kecil di pesawat. Pramugari tersebut mengajari bagaimana menggunakan kamar kecil dan menunggu Chaidar di depan pintu.

    Selanjutnya dia menawarkan diri untuk membantu pramugari-pramugari melayani penumpang. Dan tawaran itu diterima. Dia mengerjakaan pekerjaan pramugari. Dengan kemampuan bahasa Belandanya Chaidar becakap-cakap dengan pramugari, dan kadang-kadang ia bercanda dengan mereka. Di saat seperti itu ia ingat bahwa tadi pramugari membagi-bagikan rokok kepada penumpang. Dia tahu bahwa tidak semua penumpang suka merokok, maka dia menacari akal untuk mendapatkan rokok-rokok dari penumpang yang tidak suka merokok. Kepada penupang ia bicara, “Kalau Ibu tidak suka merokok, ayo serahkan kepadaku. Di dalam pesawat terbang dilarang menimpan rokok. … kulihat ibu-ibu gugup. Dan dengan spontan menyerahkan rokoknya kepadaku.”

    Setelah sampai di Mekkah ia datang ke Darul Ulum, lembaga yang menyelanggarakan pendidikan dari taman kanak-kanak hingga universitas. Darul Ulum ini didirikan oleh orang Indonesia. Chaidar datang ke sana untuk wawancara mengenai Syekh Nawawi al-Bantani. Ulama dan dosen di Darul Ulum kemudian menugaskan Dahlan Hasan untuk membantu Chaidar mendapatkan data tentang Syekh Nawawi. Bersama Syekh Dahlan dan H. Ghozali Sahlan seorang Banten yang bekerja di Kedutaan Malaysia di Jeddah, Chaidar pergi ke Ma’la.

    “Ketika tiba di Makam Syekh Nawawi Albanteni, syukurku kehadirat Allah, berlebih-lebihan. Yaitu setelah K.H. Dahlan Hasan menyatakan: inilah kuburnya Kyai Nawawi yang kau cari-cari. Aku merenungkan jasa-jasa dan karyanya. Ratusan kitab telah dikarang olehnya, yang kini ternyata kitab-kitabnya dibaca, dipelajari, dikerjakan dan diamalkan oleh seluruh Ummat Islam. Tanpa ajaran-ajarannya, Ummat Islam tidak akan dapat melakukan ibadahnya. Betapa tidak.”.

    Sudah berbulan-bulan Chaidar dari Lasem Jawa Tengah mencari seorang syekh yang dipujanya. Dari Lasem ia ke Surabaya, ke Serang, ke Tangerang, ke Pandeglang, dan sekarang ke Mekkah. Orang yang dicarinya sekarang sudah ditemukannya. Ia terbaring di dalam kuburnya di Ma’la, di komplek kuburan Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Maka dicium dan dipeluknya nisan Syekh Nawawi sambil menangis. “Itu bukan berarti aku mengkuluskan benda berbentuk nisan…,” katanya. “Yang kulihat, seolah-olah aku melihat sendiri Kyai Nawawi dengan senyum dan wajah cerahnya menerima kedatanganku.”.

    Chaidar menceritakannya kepadaku bahwa betapa ia sangat bahagia bisa bertemu dengan Syekh Nawawi. Ia, Syekh Nawawi, sudah menulis banyak buku panduan hidup, seperti tentang perkawinan, kematian, perang, ekonomi, mengatur pemerintahan, “Dan tidak tinggal pula tentang apa yang orang sekarang namakan . Beliau mengupasnya sangat terbuka. Bahkan lebih o dari semua buku-buku dan majalah-majalah yang ada.”.

    Ia sangat bahagia pencarian akan Syekh Nawawi membawanya ke sana. Setiap sehabis solat ia selalu membaca al-Fatihah dan membaca doa yang kini sudah menjadi kenyataan. “Ya Allah, kalau benar-benar Engkau Dzat Yang Mahas Kuasa, lemparkanlah diriku yang hina-dina dan miskin ini ke tanah suci Mekkah. Dan pertemukanlah dengan Kyai Nawawi di Ma’la. Ya Allah, cobalah perlihatkan kekuasaanMU kali ini….,” begitu Chaidar memanjatkan doanya.

    Begitulah ia, Chaidar, yang sangat memuliakan Syekh Nawawi al-Bantani, menceritakan pengalamannya kepadaku lewat bukunya Sejarah Pujangga Islam Syech Nawawi Albanteni Indonesia. “Aku tidak rela bilamana dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan melupakanmu begitu saja. Walaupun dalam kitab-kitabmu hanya tuan sebutkan: ditulis oleh Mohammad Nawawi bin Umar Albanteni, Al-Hindi…”—Al-Hindi, Hindia Belanda, Indonesia.*