Kamis, 18 Desember 2008

Tragedi Amir Sjarifuddin


Tanggal 19 Desember 61 tahun silam, Amir Sjarifuddin dan 10 orang lain ditembak di Desa Ngalihan, Solo, atas perintah Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto.

Sebelumnya Amir Sjarifuddin sempat menyanyikan “Indonesia Raya”. Penulis kiri cenderung mengatakan setelah itu mereka juga melagukan Internationale. Adapun kalangan Kristen menambahkan bahwa Amir memegang Alkitab. Amir Sjarifuddin Harahap adalah mantan Perdana Menteri (PM) Republik Indonesia yang dieksekusi oleh bangsanya sendiri tanpa proses pengadilan.

Amir Sjarifuddin (dan Sjahrir) adalah tokoh yang berjasa mempertahankan eksistensi negara Indonesia pada awal kemerdekaan.Tahun 1945–Januari 1948 keduanya menjadi PM.Mereka diangkat untuk menangkis tuduhan Belanda bahwa Pemerintah Indonesia adalah boneka Tokyo karena Soekarno- Hatta berkolaborasi dengan “saudara tua dari Negeri Matahari Terbit”itu.

Sejak November 1945 sampai Januari 1948, Amir Sjarifuddin berturut-turut menjadi Menteri Keamanan Rakyat/Menteri Pertahanan. Saat itu Indonesia berhasil membantu pemulangan ribuan pasukan Jepang dan internir Belanda. Pada awal kemerdekaan, unsur tentara terdiri atas berbagai kelompok terlatih (eks didikan Belanda/ Jepang) dan laskar.

Hatta ingin secepatnya merasionalisasi tentara dari 400.000 menjadi 60.000, sedangkan Amir berpendapat diperlukan masa transisi.Perbedaan kebijakan itu antara lain yang di lapangan memicu timbulnya Peristiwa Madiun 1948 di mana Amir menjadi salah seorang korbannya. Jenjang karier Amir berkebalikan dengan beberapa politisi dewasa ini.

Dia ditahan Jepang dan masih mendekam di penjara Malang sampai 1 Oktober 1945 sebelum dibebaskan dan diberangkatkan ke Jakarta untuk dilantik sebagai Menteri Penerangan. Kalau perjalanan hidup Amir “dari penjara ke kabinet”, yang terjadi di era Reformasi pada beberapa elite politik adalah “dari kabinet ke penjara”. Amir berasal dari keluarga Batak Islam bercampur Kristen.

Kakeknya, Ephraim adalah seorang jaksa beragama Kristen.Ayahnya, Soripada, juga jadi jaksa dan beralih ke agama Islam ketika menikah dengan seorang gadis Batak muslim.Amir sempat menempuh pendidikan sekolah menengah di negeri Belanda mengikuti jejak saudara sepupunya TSG Mulia.Pergaulan semasa di Eropa dan setelah kembali ke Tanah Air tahun 1927 mengakibatkan dia tertarik kepada agama Kristen dan dibaptis tahun 1935.

Dalam bidang politik, dia menjadi bendahara panitia persiapan kongres pemuda II tahun 1928 yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda. Tahun 1931 dia aktif dalam Partai Indonesia (Partindo) yang didirikan Bung Karno. Kemudian ketika tokohtokoh seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir diasingkan Belanda, Amir menggagas Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia).

Organisasi ini cukup maju dalam mendefinisikan kewarganegaraan berdasarkan kediaman (tempat lahir), bukan ras. Tahun 1938–1941 Amir menjadi redaktur majalah sastra Poedjangga Baroe.

Selanjutnya Amir juga aktif pada Gabungan Politik Indonesia (GAPI) bersama-sama dengan MH Thamrin. S e w a k t u menjadi Menteri Penerangan tahun 1945 dia mengeluarkan Maklumat Pers bulan Oktober 1945 yang menjamin kemerdekaan pers. Ini merupakan pernyataan pertama pemerintah tentang kehidupan pers.

Amir Sjarifuddin adalah seorang pemimpin yang memiliki prinsip seperti dikisahkan Fransisca Fanggidae (82 tahun, eksil di Belanda) yang ikut dalam pelarian tahun 1948. Di suatu desa, anak buahnya mengambil buah kelapa milik warga,Amir mengeluarkan tembakan peringatan dan memarahi mereka. “Tentara harus melayani rakyat, bukan mengambil kepunyaan rakyat,”ujarnya.

Peristiwa Madiun

Amir Sjarifuddin Harahap adalah satu dari demikian banyak korban peristiwa Madiun.Dalam buku pelajaran sejarah Indonesia, peristiwa Madiun 1948 dicatat sebagai pemberontakan kaum komunis untuk merebut kekuasaan Soekarno-Hatta. Buktinya, tokoh penting dalam peristiwa itu,Musso,adalah kader PKI yang baru pulang dari Moskow.

Kini sejarah resmi itu ditinjau kembali. Muncul versi lain misalnya yang beranggapan peristiwa Madiun merupakan persengketaan antara TNI dengan laskar-laskar revolusi lain yang berkelanjutan dengan saling menculik. Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia,1996) mengatakan bahwa respons pemerintah terhadap peristiwa Madiun tidak sulit dimengerti.

Negosiasi seperti yang diusulkan Sudirman mungkin dapat menyelamatkan banyak nyawa, tetapi dengan ongkos keberhasilan propaganda Belanda bahwa Republik Indonesia tidak berdaya terhadap komunis (1) dan AS mendukung Belanda untuk melakukan agresi (2). Soekarno-Hatta memilih bertindak tegas terhadap kelompok oposisi kiri tersebut.

Dalam buku Harry Poeze, Verguisd en Vergeten,Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolutien 1945-1949 (Leiden, 2007), peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman.Poeze menggunakan arsip Komintern di Moskow.

Selama ini dikesankan bahwa itu gerakan lokal yang diangkat Soekarno-Hatta sebagai peristiwa nasional (agar RI dapat dukungan internasional, terutama Amerika Serikat). Menurut Poeze masa itu hierarki dalam partai komunis masih sangat kuat sehingga mustahil kegiatan lokal di Madiun tanpa restu politbiro PKI.

Sebelum peristiwa itu meletus, Setiadjid dan Wikana diutus menemui Soemarsono. Ini berbeda dengan situasi tahun 1965 di mana manuver biro khusus PKI tidak diketahui oleh seluruh pucuk pimpinan partai tersebut. Poeze juga mengulas long march orang-orang kiri pascaperistiwa Madiun yang jarang disinggung dalam sejarah Indonesia.

Tidak kurang dari jarak 500 km ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke utara sebelumnya akhirnya mereka (antara lain Amir Sjarifuddin) ditangkap di perbatasan dengan wilayah yang dikuasai tentara Belanda. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada “Paduka Tuan”Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis, “Saya menjamin keselamatan Pak Djoko.”

Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun. Menurut Soe Hok Gie dalam Orang-Orang Kiri di Persimpangan Jalan (1997), perdebatan apakah peristiwa Madiun merupakan pemberontakan (versi resmi) atau provokasi pemerintah Hatta (versi kiri) tidak menjawab persoalan mendasar.

Yang terjadi sebetulnya adalah ketegangan di tengah masya-rakat (di Pulau Jawa) dalam revolusi nasional karena harapan- harapan yang tidak terpenuhi dan kesulitan ekonomi yang membawa frustrasi.Peristiwa Madiun akan lebih jelas bila dilacak secara multidisiplin dari aspek sosialpolitik (perubahan masyarakat pasca-1942), ekonomi (kehancuran ekonomi setelah perang), budaya (pertentangan Islam-nasionalis,Sunda versus Jawa melalui konflik divisi Siliwangi-Panembahan Senapati).(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI