Minggu, 15 Februari 2009

Mengapa Musso Pulang


Rabu, 31 Desember 2008 | 10:22 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Peristiwa Madiun, 19 September 1948, masih menyisakan sejumlah tanda tanya. Hingga kini masih terjadi pro-kontra tentang hakikat peristiwa itu. Partai Komunis Indonesia (PKI) menyatakan itu bukan pemberontakan atau kudeta, tetapi terpancing manuver Amerika Serikat yang ingin menghancurkan gerakan komunis di Indonesia. Pemerintah secara resmi menganggapnya pemberontakan, karena para pelakunya menyatakan mengganti pemerintah nasional di bawah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta serta membentuk pemerintahan front nasional di bawah kepemimpinan PKI.

Pemicu utama pemberontakan itu adalah kedatangan Musso, tokoh komunis yang tinggal di Moskow sejak 1920-an, pada awal Agustus 1948. Mengapa Musso, setelah berpuluh tahun bermukim di Rusia, pulang ke Indonesia?

Sejumlah penulis menerka-nerka maksud kedatangan Musso. Penulis Amerika, A.C. Brackman, dalam bukunya Indonesian Communism: A History, dan Ruth McVey, dalam bukunya The Soviet View of the Indonesian Revolution, menuduh Musso kembali ke Indonesia atas perintah Rusia dengan sebuah rencana yang disusun di Moskow.

Dari Indonesia, Soe Hok Gie (almarhum), dalam skripsinya yang dibukukan, Orang-orang di Persimpangan Jalan (1997), menyimpulkan Musso menuliskan rencananya di luar negeri dan datang dengan sebuah konsep yang tegas. Menurut Himawan Soetanto, mantan Kepala Staf Umum ABRI, dalam bukunya Madiun, dari Republik ke Republik (2006), ”Maksud kedatangannya (Musso) di Indonesia tidak dapat diketahui, perintah atau kekuasaan dari Moskow, tetapi menjadi jelas kedatangannya membawa serta ’garis komunis internasional ortodoks’, garis keras Zhdanov.”

Beruntung sejarawan Rusia, Larissa Efimova, meneliti dokumen dari Central Committee of the All Union Communist Party (Bolshevik)—CCAUCP (B)—yang telah dideklasifikasi, khususnya arsip dari Departemen Luar Negeri Komite Sentral AUCP. Efimova menuliskan hasil risetnya dalam berkala Indonesia and the Malay World, Juli 2003, dengan judul ”Who Gave Instructions to the Indonesian Communist Leader Musso in 1948?”

Dari berbagai dokumen itu, Efimova, yang mengajar di Moscow State Institute of International Relations (MGIMO), tidak bisa melacak adanya ”instruksi Moskow” pada Musso. Namun dari situ bisa dilacak sumber dan gagasan yang kemudian dikembangkan Musso menjadi konsep ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.

Musso ke Indonesia pada 11 Agustus 1948, menyamar sebagai sekretaris Soeripno, Kepala Perwakilan RI di Praha. Sepekan setelah kembali ke Indonesia, Musso bertemu dengan Presiden Soekarno, yang telah dikenalnya semasa Soekarno muda tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Surabaya. Ketika Bung Karno meminta Musso membantu perjuangan Indonesia, Musso menjawab, ”Ik kom hier om orde te scheppen” (”Saya datang ke sini untuk menertibkan keadaan”). Suasana Indonesia waktu itu, tiga tahun setelah merdeka, sangat kacau. Konflik terjadi di antara berbagai kelompok dan partai yang berebut kekuasaan, terutama antara golongan Islam, nasionalis, dan kiri. Masing-masing kelompok mempunyai kekuatan bersenjata (laskar), TNI juga disusupi berbagai macam ideologi. Silih berganti kabinet jatuh, dan perdana menteri berganti.

Berbagai masalah tambah meruwetkan keadaan, antara lain saling tuduh antara mereka yang dianggap kolaborator Jepang dan Belanda, rencana pemerintah mengurangi jumlah tentara (reorganisasi dan rasionalisasi), serta munculnya Tan Malaka yang memimpin Front Demokrasi Rakyat (FDR). Berbagai kelompok itu bertikai dalam menyikapi Perjanjian Renville dan menghadapi Belanda yang mau menjajah lagi.

Masalah lain, kehadiran pasukan Siliwangi, yang dipaksa mundur dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, tak bisa diterima sebagian orang, sehingga sering terjadi penculikan dan konflik bersenjata. Setiba di Indonesia, Musso, yang diakui mewakili Kominform (nama semula Komintern—Komunis Internasional), segera mengkonsolidasi organisasi gerakan komunis yang dinilai kurang radikal. Dalam tiga pekan ia berhasil menyatukan tiga partai kiri: Partai Buruh, Partai Sosialis, dan Partai Komunis Indonesia, menjadi satu PKI.

Sejumlah organisasi kiri resmi bergabung, misalnya SOBSI (buruh) dan BTI (petani). Dalam Politbiro PKI yang baru Musso menjabat sekretaris jenderal. Dalam semalam, anggota PKI, yang semula 3.000 orang, menjadi 30 ribu orang. PKI juga memiliki kekuatan tempur yang kuat, terutama di Pesindo, sayap pemuda PKI. Beberapa tokoh secara terbuka mengakui mereka anggota PKI bawah tanah, seperti Amir Sjarifoeddin dan Tan Ling Djie.

Penyatuan ketiga partai itu satu dari tiga konsep Musso yang disebut ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia” tadi. Dua konsep Musso yang lain: perlu dibentuknya sebuah pemerintahan front nasional serta penyesuaian garis partai dengan garis keras Komintern, ”doktrin Zhdanov”.

Pengaruh Musso sangat kuat, dan konsepnya didukung seluruh jajaran PKI. Rupanya, untuk melaksanakan konsep itulah kelompok muda PKI di bawah pimpinan Ketua Pesindo, Soemarsono, pada 19 September 1948 merebut kekuasaan di Madiun dan mendeklarasikan terbentuknya sebuah pemerintahan front nasional yang dikuasai PKI. Pemerintahan di beberapa kota lain, seperti Ponorogo, Magetan, dan Pacitan, juga direbut PKI.

Dalam perebutan itu, mereka yang dianggap lawan PKI, khususnya pejabat pemerintah, pemimpin nasionalis, dan Masyumi, dibantai. Musso dan sejumlah pemimpin PKI, yang berada di luar kota, buru-buru bergabung dengan Soemarsono di Madiun, dan bendera merah PKI pun dikibarkan di daerah-daerah yang dikuasai PKI; Purwodadi, Blora, Cepu, Pacitan, dan Trenggalek.

Reaksi pemerintah nasional cepat dan tegas. Pada 19 September malam, Presiden Soekarno berpidato di RRI Yogyakarta, mengungkapkan terjadinya kup di Madiun, yang bermaksud mendirikan sebuah pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Musso, awal dari usaha merebut pemerintahan. Soekarno menawari rakyat untuk memilih: ”Ikut Musso dan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta.”

Panglima TNI Jenderal Soedirman diperintahkan menumpas pemberontakan itu. Pasukan Siliwangi yang melaksanakan tugas tersebut. Satu setengah jam setelah Presiden Soekarno berpidato, Musso membalas dengan berpidato lewat Radio Gelora Pemuda Madiun, mengajak rakyat melawan Soekarno-Hatta, ”budak imperialis”.

Kejadian di Madiun, kata Musso, adalah sinyal bagi rakyat untuk merebut kekuasaan negara. Penumpasan pemberontakan PKI oleh pasukan Siliwangi tidak berjalan lama. Dalam sebelas hari Madiun dapat direbut kembali, dan dalam tiga bulan seluruh kekuatan pemberontak ditumpas. Musso tertembak mati, sedangkan Amir Sjarifoeddin dan sebelas pemimpin PKI lainnya ditangkap dan dihukum mati di Karanganyar, Surakarta, atas perintah Gubernur Militer Surakarta Kolonel Gatot Soebroto.

Sejarawan Australia, M.C. Ricklefs, memperkirakan setidaknya 8.000 orang tewas akibat pemberontakan Madiun. Apakah konsep Musso itu instruksi Moskow? Efimova menemukan beberapa hal penting dari arsip yang diteliti. Salah satu tugas Musso di Moskow, ternyata, membuat laporan tentang perkembangan gerakan komunis di Indonesia.

Pada 23 Januari 1948, Musso dalam ”Catatan tentang Situasi di Indonesia” melaporkan kepada Komite Sentral AUCP (B) bahwa posisi kelompok sosialis dalam pemerintahan di Indonesia makin kuat. Kelompok sosialis sengaja tidak menonjolkan diri untuk menghindari serangan dari ”partai-partai reaksioner dan kelompok agama” yang anti-Soviet dan antikomunis. Hanya beberapa pemimpin Partai Sosialis dan Partai Buruh, seperti Amir Sjarifoeddin, Tamzil, dan Setiadjit, komunis yang mengaku sosialis yang ditampilkan ke depan.

Musso juga meyakinkan pemimpin Soviet, secara luas rakyat Indonesia bersimpati kepada Uni Soviet, bukan mereka yang komunis saja. ”Meski ada ancaman dari imperialis Amerika dan kelompok kanan Indonesia, kabinet Amir Sjarifoeddin pasti bisa bertahan,” kata Musso.

Celakanya, pada 23 Januari itu juga kabinet Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin bubar, dan digantikan kabinet Hatta. Esoknya, Departemen Kebijakan Luar Negeri AUCP (B) mendapat laporan dari dua pejabatnya yang mengomentari ”Catatan Musso”. Keduanya mengecam keras analisis Musso, yang terbukti tidak akurat. Mereka juga mengkritik taktik dan strategi PKI, yang mereka anggap salah tapi dibenarkan oleh Musso.

Situasi Indonesia dianggap mengkhawatirkan, sehingga dianggap perlu dilaporkan kepada pemimpin Soviet tertinggi. Maka, pada 18 Februari, sebuah laporan berjudul ”Situasi di Indonesia setelah Penandatanganan Persetujuan Belanda-Indonesia pada 17 Januari 1948” diserahkan kepada para anggota Politbiro Komite Sentral AUCP (B), seperti Stalin dan Molotov.

Laporan yang ditulis oleh Kepala Seksi Asia Tenggara Departemen Luar Negeri AUCP (B) Plishevsky berisi kritik dan analisis kesalahan PKI, antara lain mengakibatkan peralihan kekuasaan di Indonesia ke partai kanan. Di situ juga diuraikan analisis Musso pada 23 Januari yang ternyata tidak tepat. Karena laporan itulah Musso harus ke Indonesia untuk mengubah strategi dan taktik PKI.

Sebelum ke Indonesia, Musso mampir ke Praha dan tinggal beberapa pekan. Arsip-arsip yang diteliti Efinova mengungkapkan Musso cukup lama mempersiapkan rencana perubahan itu. Namun, ternyata ia sangat terpengaruh doktrin dan pengalaman partai komunis di Cina, Belanda, dan Cekoslovakia, yang tidak secara kaku menerapkan komunisme ala Soviet.

Dari Praha, Musso bertemu dan berunding dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Belanda Paul de Groot bersama Soeripno. Dari Praha pula Musso mengirimkan beberapa laporan kepada AUCP (B). Dalam laporan tertanggal 4 Mei 1948, yang berjudul ”Garis Besar dari Tugas Komunis di Indonesia”, Musso menguraikan konsep perlu disatukannya gerakan kiri di Indonesia di bawah PKI.

Jadi, mengapa Musso pulang ke Indonesia? Kecaman terhadap Musso dari para pejabat AUCP (B) membuat Musso merasa bersalah dan kehilangan muka, hingga memutuskan untuk mengubah strategi PKI, yang dituangkannya dalam konsep ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.

Musso yakin hanya dia yang mampu merealisasi konsepnya tadi. Maka ia pun kembali ke Indonesia pada 11 Agustus 1948. Ternyata Musso salah: PKI belum siap mengambil alih kekuasaan, dan terlalu meremehkan popularitas Soekarno-Hatta. Tatkala Soekarno menawarkan kepada rakyat untuk memilih Soekarno-Hatta atawa Musso, rakyat memilih Soekarno-Hatta.

Dalam waktu kurang dari tiga bulan, pemberontakan yang dipimpin Musso ditumpas. Pasukan PKI tercerai-berai para pemimpin PKI diburu dan dibunuh. Musso tertembak mati pada pertempuran kecil, 31 Oktober 1948.

SUSANTO PUDJOMARTONO, Wartawan senior, mantan Duta Besar Indonesia di Rusia

Tidak ada komentar: