Kamis, 30 Oktober 2008

Bertemu Para Bolsyewik Tua


Mewakili Partai Komunis Indonesia dalam Kongres Komunis Internasional di Moskow. Minta sekolah lagi tapi ditolak.

BAGI aktivis komunis 1920-an, Vladimir Lenin, Josep Stalin, dan Leon Trotsky bukanlah nama biasa. Mereka ”dewa” komunisme yang menggerakkan kaum revolusioner dunia dari Moskow. Tan Malaka beruntung bisa bertemu dengan mereka.

Komunis muda van Hindia ini tiba di Moskow pada Oktober 1922, dari Jerman. Dia sering mengunjungi pabrik, berkenalan dengan para buruh, dan cepat akrab dengan para Bolsyewik di Negeri Beruang Merah itu. Kamarnya, di salah satu bekas hotel di Moskow, menjadi tempat singgah para pemuda dan pelajar.

Ketika Komunis Internasional (Komintern) sibuk mempersiapkan kongres keempat, Tan—yang melapor sebagai wakil Indonesia—diajak ikut rapat-rapat persiapan. Tapi dia hadir sebagai penasihat, bukan anggota yang punya hak suara.

Kongres Komintern ke-4 akhirnya berlangsung pada 5 November-5 Desember 1922. Di sini Tan bertemu dengan para pemimpin revolusi Asia, termasuk Ho Chi Minh dari Vietnam.

Tan beruntung, semua wakil Asia mendapat kesempatan bicara lima menit. Giliran Tan jatuh pada hari ketujuh. Di sanalah, dalam bahasa Jerman patah-patah, dia menyampaikan gagasan revolusioner tentang kerja sama antara komunis dan Islam.

Kata Tan, komunis tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa saat itu ada 250 juta muslim di dunia. Pan-Islamisme sedang berjuang melawan imperialisme—perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme.

Menurut dia, gerakan itu perlu mereka dukung. Namun dia tahu keputusan ada di tangan petinggi partai, para Bolsyewik tua. Karena itu, di akhir pidato dia berkata, ”Maka dari itu saya bertanya sekali lagi, haruskah kita mendukung Pan-Islamisme?”

Tan berbicara lebih dari lima menit. Mungkin karena pidatonya yang membangkitkan semangat, diselingi sedikit humor, ketua sidang cuma mengingatkan dia sekali dan membiarkan dia terus berpidato.

”Kongres memberi tepuk tangan yang ramai pada Tan Malaka, seolah-olah telah memberi ovasi padanya,” tulis Gerard Vanter untuk harian De Tribune. ”Itu merupakan suatu pujian bagi kawan-kawan kita di Hindia yang harus melakukan perjuangan berat terhadap aksi kejam.”

Esoknya, giliran Lenin angkat bicara. Ruang pertemuan penuh sesak. Datang terlambat, Tan naik ke panggung dan duduk di tepinya, berharap bisa mendengarkan Lenin dari dekat. Tapi, sebelum Lenin tiba, panggung ”disterilkan”.

Seorang pengawal Lenin menarik tangan Tan sangat keras, sehingga ia terjerembap. Toh, menurut Harry Poeze, dalam bukunya, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik jilid I, Tan tetap terkagum-kagum mengikuti pidato Lenin.

Gagasan Tan mendapat dukungan penuh delegasi Asia. Tapi kenyataan itu tak terlalu disukai oleh Karl Radek, pemimpin Komintern yang membawahkan urusan Asia.

Setelah Kongres usai dan para utusan kembali ke negeri masing-masing, Tan bingung harus ke mana. Dia tak ingin kembali ke Belanda. Balik ke Indonesia pun tak mungkin.

Tan sempat meminta Komintern menyekolahkan dia, tapi ditolak. ”Belum terbuka kursi profesor buat Saudara,” ujar seorang temannya, mengolok-olok.

Untuk mengisi waktu luang, Radek meminta dia menulis sebuah buku. Bahan-bahan untuk menulis dipesankan dari Belanda. Tan dibebaskan menulis apa saja, yang penting tentang Indonesia.

”Saya pusatkan saja isi dan corak buku itu kepada sejarah dan statistik,” tulis Tan dalam bukunya, Dari Penjara ke Penjara. Buku itu akhirnya terbit pada 1924, dengan judul Indonezija; ejo mesto na proboezdajoesjtsjemsja Vostoke atawa Indonesia dan Tempatnya di Timur yang Sedang Bangkit.

Pemerintah Rusia mencetak lagi buku itu sebanyak 5.000 eksemplar pada 1925. Tapi Tan tak sempat menunggu ”kelahiran” buku yang dia tulis dalam bahasa Rusia itu. Pada akhir 1923, dia sudah berada di Kanton, Cina, sebagai wakil Komintern untuk Asia Timur.

Tidak ada komentar: