Selasa, 18 November 2008

Agen Merah Penyusup Tentara

DESEMBER 1964, Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh bertikai hebat dengan Menteri Negara Dipa Nusantara Aidit dalam sebuah rapat kabinet. Chairul, tokoh Partai Murba yang antikomunis, menyodorkan segepok dokumen dan menuding Ketua Partai Komunis Indonesia diam-diam merencanakan kudeta. Aidit membantah.

Bisa terjadi baku pukul andai Presiden Soekarno tak melerai. ”Semua yang dibicarakan di sini tak boleh sampai keluar,” kata Soekarno, keras. Sebuah tim investigasi militer lalu diberi mandat memeriksa kesahihan tudingan Chairul. Hasilnya: Partai Komunis Indonesia dinyatakan bersih dan Chairul harus meminta maaf kepada Aidit.

Tak banyak yang tahu bahwa lolosnya Aidit dari tudingan Chairul menjelang peralihan kekuasaan 1965 itu berkat campur tangan sebuah lembaga klandestin bentukan PKI: Biro Chusus.

Cikal-bakal Biro Chusus adalah badan militer dari Departemen Organisasi PKI. John Roosa, sejarawan dari Universitas British Colombia, Kanada, menjelaskan bahwa sayap militer partai ini sudah berfungsi sejak 1950-an. ”Bagian militer ini tumbuh secara alamiah,” katanya.

Menurut Roosa, pada tahun-tahun pertama Republik, banyak pemuda anggota laskar pejuang yang diterima menjadi tentara reguler. Beberapa di antara mereka bersimpati pada gerakan kiri.

”Ketika perang berakhir, PKI tidak mau kehilangan kontak dengan para simpatisan ini,” kata Roosa, mengutip sumbernya, seorang tokoh sentral PKI 1960-an. Untuk menjaga jaringan partai di militer itulah Aidit lalu membentuk badan khusus ini. Pemimpin pertamanya adalah Karto alias Hadi Bengkring, anggota senior PKI.

”Biro Chusus bertugas mengurusi, memelihara, dan merekrut anggota partai di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia secara ilegal,” kata Iskandar Subekti, panitera Politbiro PKI, dalam catatannya atas peristiwa 30 September 1965.

Pada masa itu, apa yang dilakukan PKI bukanlah sesuatu yang aneh. Sejumlah partai lain juga punya organ khusus untuk memelihara kontak mereka dengan tentara. Partai Sosialis Indonesia salah satunya. ”Militer Indonesia pascakemerdekaan memang penuh dengan klik berdasarkan kecenderungan politik masing-masing,” kata Roosa.

Pada 1964, setelah kematian Karto, D.N. Aidit menunjuk sahabatnya, Sjam Kamaruzaman, menjadi kepala unit ini. Sejak itulah sejumlah perubahan besar terjadi. Penetrasi PKI ke dalam tubuh militer dilakukan secara lebih sistematis. Kerahasiaan unit ini pun dijaga makin ketat.

Lembaga eksekutif PKI, Politbiro, dan Comite Central dibiarkan tak mendapat informasi apa pun soal gerakan bawah tanah ini. Kendali hanya ada di tangan Ketua PKI. Karena itulah Aidit bisa leluasa meminta bantuan perwira merah di TNI ketika dia dituding akan mengkudeta Soekarno.

Biro Chusus terdiri atas lima orang agen inti di tingkat pusat dan tiga anggota di setiap daerah. Di bawah Sjam sebagai ketua, ada Pono dan Bono—dua intel Biro Chusus didikan Hadi Bengkring. Dua anggota staf lain adalah Suwandi (bendahara) dan Hamim (pendidikan). Wandi dan Hamim tidak ikut menyusup ke dalam tentara. Untuk memudahkan mereka masuk ke kompleks tentara, Sjam, Pono, dan Bono punya kartu anggota militer dengan jabatan agen intelijen TNI.

”Jadi, kalau masuk kompleks militer, mereka tinggal bilang bahwa mereka itu adalah intelnya si ini atau si anu,” kata John Roosa, merujuk pada kesaksian mantan pemimpin elite PKI. Karena punya kartu anggota TNI itulah para agen merah ini sering dikira agen ganda.

Sebagai kedok untuk kerja intelijen, sehari-hari Sjam mengaku saudagar pabrik genting PT Suseno di Jalan Pintu Air, kawasan Pasar Baru. Bono mengelola bengkel PT Dinamo di Jalan Kebon Jeruk—dekat Harmoni, Jakarta Pusat. Pono punya restoran, dan Hamim mengelola satu perusahaan bus.

Biro Chusus juga mengelola usaha kontraktor dan CV Serba Guna, makelar jual-beli rumah di Gang Sentiong, Kramat, Jakarta Pusat. Dana dari perusahaan-perusahaan ini dipakai untuk menunjang operasi Biro Chusus.

Karena itulah para tetangga lima agen ini tidak pernah menduga Sjam dan empat anggota stafnya adalah mata-mata PKI. Saban hari, setiap pukul enam pagi, seperti orang kantoran lain, mereka rutin berangkat ke kantor naik mobil pribadi. Anak-anak Sjam sendiri mengira ayahnya hanya pengusaha biasa.

Penyamaran sempurna agen-agen Biro Chusus ini baru terbongkar ketika Soejono Pradigdo, salah satu anggota Politbiro PKI yang tertangkap paling awal, membocorkan keberadaan Biro pada Desember 1966. Sjam dicokok lima bulan kemudian, dan mulai bercerita lebih detail soal unit rahasia ini.

Tidak ada komentar: