Selasa, 18 November 2008

Sjam Suka Omong Besar



PKI belum punya kekuatan massa yang betul-betul siap berperang. Waktu itu partai hanya siap untuk demonstrasi, rapat umum, menuntut upah, melawan Amerika. Tapi, untuk suruh berperang, nanti dulu.

DIA punya satu nama asli dan tiga nama samaran. Tapi ia hanya ingin dipanggil Hamim—salah satu nama aliasnya. ”Supaya enggak ketahuan,” katanya. Soal pentingnya punya nama palsu, ia beralasan agar hidupnya aman. ”Ketika belajar di sekolah partai di Tiongkok, saya diwajibkan memakai nama alias,” katanya. Hamim sendiri ia ambil dari nama seorang teman di Tasikmalaya, Jawa Barat. ”Sudah meninggal, saya gunakan saja nama itu, tanpa maksud apa-apa,” katanya.

Hamim, kini 83 tahun, adalah tokoh penting dalam sejarah Gerakan 30 September. Ia adalah satu-satunya anggota Biro Chusus Partai Komunis Indonesia yang tersisa. Biro adalah badan rahasia yang dibentuk Ketua PKI D.N. Aidit untuk mempersiapkan aksi berdarah itu. Empat pengurus Biro Chusus lainnya—Sjam Kamaruzaman, Pono, Bono, dan Suwandi—sudah tak ada. Tiga yang pertama dieksekusi aparat pada 1986, sedangkan Suwandi meninggal lebih dulu. Hamim pun divonis mati, tapi bersama sejumlah tahanan politik bebas ketika Soeharto jatuh.

Nama Hamim berkali-kali disebut Sjam ketika diperiksa aparat pada 1967. Ia ikut dalam rapat-rapat rahasia Biro Chusus menjelang 30 September. Ketika aksi itu disikat tentara pada Oktober 1965, Hamim bertahan di Jakarta, sedangkan Sjam lari ke Jawa Barat.

Ditemui wartawan Tempo, Ahmad Taufik, Anwar Siswadi, dan fotografer Aditya Herlambang Putra di rumahnya di Tasikmalaya, Ahad dua pekan lalu, Hamim bicara panjang-lebar tentang Biro Chusus dan peran Sjam Kamaruzaman.

Kapan Anda menjadi anggota PKI?

Mei 1948 saya mendaftar menjadi anggota Partai Komunis Indonesia. Sjam juga masuk PKI pada 1948, tapi waktu itu saya belum kenal dia.

Kapan Anda kenal Sjam?

Waktu mengajar di Sekolah Partai Central di Jalan Padang, Jakarta, saya dipanggil ke rumahnya di Paseban, Jakarta Pusat. Sjam bilang, ”Bung dapat tugas untuk bagian pendidikan. Bung nanti mengurusi sekolah partai, mendidik perwira dan kader-kader daerah.” Waktu itu saya mengajar perihal masyarakat Indonesia dan revolusi Indonesia.

Bagaimana kesan Anda terhadap Sjam?

Sjam bos saya, Ketua Biro Chusus. Wajahnya menakutkan, orangnya hitam, matanya besar. Dia itu seperti militer di Biro Chusus. Ia mengutamakan sentralisme daripada demokrasi. Walaupun dia bukan militer, caranya di Biro Chusus kayak militer. Disiplinnya kuat.

Dia suka marah?

Kepemimpinannya keras. Kalau saya bikin kesalahan, dia memaki-maki bahkan di depan orang. ”Ini salah! Itu salah!” katanya.

Dia orang yang bisa dipercaya?

Bung Sjam suka membesar-besarkan garapannya (pengaruh—Red.) terhadap militer. Sifatnya sombong. Dia suka bombastis, omong besar.

Contohnya?

Menjelang G30S, dia pernah bilang kepada saya, ”Bung enggak usah takut, kita sudah punya tentara. Dengan tentara, kita bisa berbuat apa saja.” Ia mengatakan enggak usah ngikutin Tiongkok atau Vietnam. Kita sendiri punya beberapa jenderal yang prokomunis.

Keadaan sebenarnya saat itu?

Sebetulnya G30S itu belum matang. Persiapan hanya dua bulan: Agustus dan September 1965. Pada sebuah diskusi tentang G30S, Sjam bertanya kepada saya, ”Apakah Bung siap mengadakan gerakan militer terhadap pemerintah sekarang?” Saya bilang siap saja asalkan ada dukungan. Tapi saat itu, untuk melancarkan gerakan militer, massa (di bawah) belum matang.

Maksud Anda?

PKI belum punya kekuatan massa yang betul-betul siap berperang. Waktu itu partai hanya siap untuk demonstrasi, rapat umum, menuntut upah, melawan Amerika. Tapi, untuk suruh berperang, nanti dulu. Taruhannya mati. Untuk melatih rakyat berperang, tidak bisa sebulan-dua bulan, harus dipersiapkan tahunan. Mengajak rakyat berperang kan mengubah pikiran dari cara damai ke cara kekerasan. Semua butuh waktu.

Mendengar jawaban Anda, apa reaksi Sjam?

Dia marah. ”Bung belum bertempur, sudah takut!” Yang juga menentang usul Sjam adalah Suwandi. Ketika ditegur Sjam, saya diam saja. Sjam, Pono, dan Bono setuju gerakan militer yang sudah disiapkan tentara. Tapi saya bertanya: akan berperang, kok, massa tidak ikut? Kita perlu belajar dari Tiongkok. Di sana rakyat yang berperang, tentara cuma jadi promotor.

Kesan Anda terhadap Sjam?

Sjam itu sombong dan enggak mau belajar teori. Dia bercerita pernah kerja di Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran Tanjung Priok. Dia pernah menyelamatkan Aidit lalu disuruh mengawal Aidit. Dia sobat kental Aidit.

Apa sebenarnya Biro Chusus itu?

Orang yang masuk Biro Chusus adalah orang pilihan. Sebelum masuk, mereka dilatih dan diamati. Biro Chusus dulunya badan militer PKI. Biro ini ilegal (rahasia) karena mengurusi tentara dan mempengaruhi tentara. Bahwa PKI ada juga di tentara, itu kan tertutup. Sjam yang memegang peran utama. Dia hubungannya langsung dengan Aidit. Empat lainnya tak boleh tahu apa yang diomongkan Aidit dengan Sjam. Biro Chusus adalah alat Aidit untuk bisa menguasai partai.

Siapa saja yang mengetahui keberadaan Biro Chusus?

Biro Chusus ada sejak 1964 dengan tugas membantu Ketua Partai D.N. Aidit. Sjam adalah tangan kanan atau orang tepercaya ketua partai. Jadi yang tahu adanya Biro Chusus itu cuma Aidit dan beberapa temannya yang dipercaya, misalnya Sudisman (sekretaris jenderal) dan Oloan Hutapea (anggota Politbiro). Dari 18 anggota Politbiro PKI, paling cuma tiga orang yang tahu.

Siapa saja anggota Biro Chusus?

Biro Chusus itu terdiri atas Sjam (ketua), Pono (wakil ketua), Bono (sekretaris), Suwandi (keuangan), dan saya (pendidikan). Saya termasuk baru dalam Biro Chusus. Tadinya saya guru di Sekolah Partai Central (semacam kursus ideologi milik PKI—Red.). Sjam, Pono, dan Bono sudah dihukum mati. Wandi sudah meninggal. Yang sekarang ada tinggal saya. Entah sampai kapan saya hidup, ha-ha-ha…. Tiga orang terpenting dalam Biro Chusus adalah Sjam, Pono, dan Bono. Mereka menguasai segala hal, termasuk yang memimpin operasi militer. Wandi mengurus usaha, seperti pabrik dan bengkel. Saya bidang teori dan pendidikan.

Anda sempat ditahan bersama Sjam di penjara Cipinang?

Saat di Cipinang, saya ketemu dengan Sjam. Ngobrol-ngobrol. Dia bilang, ”Sekarang ini bagaimana caranya untuk memperlambat eksekusi mati. Karena itu, saya bikin keterangan yang macam-macam supaya mereka (tentara) bingung.” Dari situ saya tahu dia itu penakut. Saya balas: ”Bung, Anda dulu ngomong penjara atau mati. Sekarang Bung ngomong supaya tidak segera dieksekusi.”

Menurut Sjam, pengakuan apa yang dia berikan kepada tentara?

Dia bilang bahwa dia intel ABRI. Jadi double agent. Padahal enggak betul. Bahwa dia menyamar sebagai intel ABRI itu kamuflase. Perwira intel memberi dia surat (keterangan) sebagai intel agar dia bisa ke mana-mana, termasuk masuk pos tentara.

Anda menganggap Sjam pengkhianat?

Omongannya enggak pernah sesuai. Dulu dia bilang, ”Masuk Biro Chusus itu konsekuensinya penjara atau mati.” Saya jawab, ”Untuk partai, sih, apa saja saya lakukan.” Tapi, setelah itu, saat menghadapi hukuman mati, dia gentar. Dia dihukum tembak pada 1986 bareng Pono, Bono, dan seorang kolonel AURI. Sjam yang bombastis dan suka marah-marah ternyata waktu menghadapi kematian menjadi oportunis.

Anda ditahan dalam sel yang terpisah dengan Sjam?

Pernah Munir (tahanan politik PKI—Red.), Bono, Sjam, dan saya dalam satu kamar. Di situ saya banyak ngomong dengan Sjam. Tapi orang lain enggak ada yang mau ngomong dengan dia. Sjam mereka anggap terlalu banyak membocorkan keberadaan perwira militer dalam tubuh PKI.

Tidak ada komentar: