Sabtu, 01 November 2008

Syech Nawawi (5)


JALAN KE ARAH SYEIKH NAWAWI

Oleh Wan Anwar

Ikan-ikan di laut akan memohonkan ampunan
bagi orang yang mau berjalan
menuju orang alim (guru) untuk belajar.

Hidup itu pilihan, dan pilihan adalah kesadaran. Manakala sebuah jalan ditetapkan sebagai pilihan, jalan-jalan lain niscaya ditinggalkan. Ilmu mantik (logika) mengajarkan kepada kita: tak mungkin satu wujud (katakanlah seseorang) berada di beberapa tempat (jalan) pada waktu bersamaan. Seperti jalan kebenaran dan kebatilan, tak mungkin keduanya ditempuh bersamaan.

Mungkin belum sepenuhnya pilihan ketika pada usia masih belia, kira-kira 15 tahun, nun jauh 180 tahun lalu, pemuda bernama Muhammad Nawawi meninggalkan Tanara (Banten) menuju Saudi Arabia untuk ibadah haji sekaligus belajar ngaji. Namun 3 tahun bermukim di Mekah dan kemudian berhasil menghafal al-Qur’an dan menguasai pengetahuan dasar bahasa Arab, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu mantik, dan ilmu hadits, tak dapatkah disebut sebagai sebuah pilihan?!

Keberangkatannya yang kedua ke Mekah pada usia 18 tahun (1830), pastilah bukti kuat Nawawi muda benar-benar telah memilih: ilmu dan belajar yang menjadi pilihannya. Kesungguhan akan pilihannya makin terbukti manakala di tahun 1860 ia menjadi guru (maha guru tepatnya) dan aktif mengajar di kota kelahiran Nabi besar Muhammad Saw. Muridnya datang dari berbagai bangsa dan kalangan, sebagian dari tanah air (Indonesia = Hindia Belanda), antara lain: Hasyim Asy’ari, Khalil, Asnawi Banten, dan banyak lagi. Murid-muridnya kemudian menjadi ulama besar dan penting di negeri ini, ulama-ulama (pemikir) yang memang layak menyandang gelar Kyai Haji (KH.). Dan jika ada banyak murid yang sukses, siapa lagi yang paling sukses selain gurunya: seseorang yang dipanggil Syeikh Nawawi al-Bantani (al-Jawi atau al-Tanari).

Lebih dari 30 tahun Nawawi belajar langsung kepada para maha guru kaliber internasional di Mekah. Belum lagi belajar tak langsung melalui kitab-kitab (buku-buku) para pemikir/ intelektual muslim dunia, baik dalam ilmu fiqh, kalam, tasawuf, hadis, dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Bukti konkret hasil belajarnya, selain mengajar di Masjid al-Haram, tidak lain kitab-kitab yang ditulisnya berupa pembahasan/ komentar (syarah) terhadap kitab-kitab yang dibacanya.

Singkat kata, selain maha guru, Nawawi adalah seorang pembaca dan penulis. Dan itulah warisannya untuk kita di Banten, Indonesia, bahkan dunia umumnya: sejarah dan karya-karya yang membanggakan. Maka siapa lagi yang akan meneladani kalau bukan kita yang masih sering bimbang dan gelisah di tengah aneka macam godaan instan yang membuat kita suka tergesa-gesa. Saya kira teladan utama yang harus diwarisi dari ghirah Syeikh Nawawi adalah kesabaran dan kesungguhan dalam menuntut ilmu dan menjalani hidup sebagai pemikir dan intelektual.

Saya tidak tahu perasaan apa yang ada dalam jiwa Nawawi muda ketika ia meninggalkan Tanara Banten? Apa yang dia angankan sepanjang berlayar ke negeri orang? Kerinduan jenis apa yang menggelora dalam dirinya setiap mengenang kampung halaman atau bertemu saudara sebangsa? Bagaimana pula memeram dan mengobati kerinduan itu mengingat sampai akhir hayatnya ia tenggelam di lautan ilmu dan pendidikan, hingga tak sempat kembali ke kampung halaman?

Tidak ada komentar: