Selasa, 18 November 2008

Jungkir-Balik Setelah Prahara


Anak-anak Sjam hidup tercerai-berai. Masih merahasiakan silsilah keluarga.

SJAM Kamaruzaman tidur tengkurap di rumahnya, 43 tahun silam itu. Di Jatibuntu, Jalan Pramuka, Jakarta Pusat, Ketua Biro Chusus Partai Komunis Indonesia itu seharian menghabiskan waktu di kamar depan. Sorenya, tepat tiga hari setelah geger politik 30 September 1965, Sjam menghilang. ”Bapak pergi tanpa pamit,” kata Maksum, nama aliasputra sulung Sjam, mengenang.

Padahal, malam sebelumnya, dia baru pulang setelah sepekan meninggalkan rumah. Itulah awal perpisahan panjang antara lima anak Sjam dan sang ayah. Tak ada lagi ritual rutin Sjam bersama anaknya melancong ke Sampur, Cilincing, untuk melihat matahari terbenam. Tak ada lagi kumpul-kumpul keluarga minum susu di Kramat Raya.

Rumah di Jatibuntu—sekarang Jalan Pramuka Jati—digerebek Corps Polisi Militer setahun setelah peristiwa 30 September. Tiga mobil milik keluarga—Nissan, Holden, dan Mazda—disita. Ibu tiri mereka, yang belum lama dinikahi Sjam, lenyap setelah kejadian itu. Kehidupan mereka jungkir-balik.

Lima anak Sjam, bersama Mun Muntarsih—kakak ipar Sjam yang akhirnya mengasuh mereka—hidup dempet-dempetan karena enam dari delapan kamar di rumah itu ditempati 20-an tentara dari Kodam Siliwangi. Berbagai cara dilakoni agar bisa menyambung hidup. Mulai berdagang bumbu dapur di Pasar Genjing hingga menjual gado-gado di Stasiun Kramat.

Bu Mun—demikian anak-anak Sjam menyebut Mun Muntarsih—menjual barang-barang milik Sjam di Pasar Rumput. Misalnya, jas panjang musim dingin yang dibeli di Cina. Keluarga juga terpaksa menjual lukisan koleksi Sjam.

Rumah dengan luas tanah 900 meter persegi itu belakangan ditempati tiga polisi militer beserta keluarganya. Pelan-pelan Maksum dan adik-adiknya menyingkir ke kamar belakang, hingga akhirnya jadi penghuni garasi. Tak tahan oleh tekanan psikologis itu, mereka hengkang, menjelang 1970, tak lama setelah Maksum lulus sekolah menengah pertama.

Sejak itulah lima bersaudara ini berpencar. Dua adik Maksum, Shinta (saat itu 14 tahun) dan Laksmi, 5 tahun, diboyong oleh Latifah, adik Sjam, ke Tuban, Jawa Timur. Adapun Ratna, 12 tahun, anak nomor tiga, diasuh keluarga di Bandung. Maksum dan Kelana, 9 tahun, hidup luntang-lantung mengembara ke beberapa kota di Jawa.

Oleh Benyamin, gurunya di SMP 8 Pegangsaan Barat, Maksum diajak ke Pacet, Jawa Timur. Ia ikut sekolah persiapan dua tahun—setingkat sekolah menengah atas. Dari sana Maksum masuk pesantren Lirboyo, di Kediri, Jawa Timur. Ia nyantri pada 1971 hingga 1979. Maksum memberi tahu Latifah soal keberadaannya setelah empat tahun di Lirboyo.

Lain Maksum, lain Kelana. Anak keempat Sjam ini mengelana ke Yogyakarta dan Bandung, sebelum akhirnya balik ke Jakarta. Sekolahnya putus-sambung. Berbekal informasi dari surat kabar yang mewartakan tahanan politik ditaruh di rumah tahanan militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat, Kelana memberanikan diri menanyakan keberadaan ayahnya. Ditanya oleh penjaga, ia mengaku anak Sjam.

Pencariannya tak sia-sia: ia diizinkan bertemu dengan sang ayah. Momen itu berlangsung pada 1976. Karena dari kecil sudah ditinggal pergi Sjam, Kelana tidak ingat wajah ayahnya. Ia merasa pertemuan itu tidak begitu mengharukan. Keberadaan Sjam disampaikan Kelana kepada Maksum.

Kelana sejak itu rajin menyambangi ayahnya. ”Setelah tahu saya anak Sjam, saya mudah keluar-masuk kamar tahanan,” kata Kelana, kini 48 tahun. Sepulang dari sana, ia selalu diberi uang saku oleh Sjam. Bahkan, atas perintah Sjam, Kelana mengambil sendiri uang itu dari dalam tas bapaknya. Jumlahnya Rp 30-35 ribu per bulan.

Dari mana uang itu? Kelana mengatakan, di dalam tahanan ayahnya menjadi perajin tas. ”Sebulan Bapak bikin tiga-empat koper,” katanya. Pekerjaan itu dilakoninya bertahun-tahun. Uangnya utuh karena tak pernah dibelanjakan. Uang di dalam tas itu sudah dikelompokkan dalam pecahan ratusan dan ribuan. ”Semuanya uang baru.”

Di dalam sel empat kali empat meter itu, Kelana suka memasak bersama ayahnya. Sel itu ada dapurnya. Di belakang sel, Sjam menanam bayam. Kelana juga suka tidur siang di sana. Ayahnya, kata Kelana, juga rajin main badminton. ”Raketnya sampai lima.” Meski sering besuk, Kelana merasa Sjam tak begitu terbuka. ”Bapak jarang bicara,” katanya.

Setelah Kelana masuk pusat pendidikan dan latihan balai teknik di Bandung, ia bekerja di perusahaan pengeboran minyak lepas pantai di Selat Bali dan di Kepulauan Seribu. Maksum baru balik ke Jakarta pada 1981, setelah dua tahun sebelumnya bekerja di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.

Karena ada lowongan pegawai negeri sipil di Dinas Purbakala, Yogyakarta, ia balik ke Jakarta mengurus ijazah sekolah dasar dan SMP. Ia berani melamar karena di ijazahnya nama sang ayah bukan Sjam Kamaruzaman, melainkan Sjamsudin. Di Jakarta, Maksum kembali bertemu dengan Benyamin, yang pindah profesi menjadi redaktur di salah satu harian Ibu Kota.

Bekas gurunya itu mengajak bergabung. Karena kangen kepada ayahnya—saat itu sudah dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang—Maksum menyambut tawaran itu. Ia lalu menjadi korektor bahasa.

Setelah memperoleh kartu tanda penduduk Jakarta, Maksum datang ke Cipinang. Sjam kaget. Inilah pertemuan pertama setelah 16 tahun berpisah. ”Tapi saya tak menangis, karena air mata sudah habis,” kata Maksum. Sejak itu Maksum datang ke ruang besuk Cipinang dua bulan sekali, biasanya Sabtu pagi.

Berbeda dengan kepada Kelana, kepada Maksum Sjam banyak bicara soal ideologi. ”Mungkin karena tahu saya jebolan pesantren,” katanya. Sjam juga suka minta dibawakan majalah-majalah berbahasa Inggris dan Belanda. Tapi pembicaraan tak pernah menyinggung peristiwa 1965.

Sjam menitikkan air mata ketika Maksum membawa anaknya ke Cipinang. Ia menggendong cucu pertamanya itu, kemudian berkelakar, ”Kowe kok bisa kawin?” Sebelum menikah, Maksum memang sudah membawa calon istrinya kepada Sjam. Sang istri sempat syok setelah tahu siapa calon mertuanya. Tapi, setelah itu ia mau menerima.

Beberapa bulan sebelum eksekusi, September 1986, Maksum membesuk ayahnya. Sjam memberinya Al-Quran. Ia juga berpesan agar lima bersaudara itu rukun. ”Kalau adikmu butuh uang, bantu mereka. Tapi jangan dihitung utang,” Sjam berpesan. Wajahnya terlihat tenang, tak ada beban.

Malam terakhir menjelang eksekusi, Sjam ditemani Shinta. Anak kedua itu dijemput dari Tuban oleh dua tentara. Mereka bertemu hanya 30 menit. Malam itu Shinta menangis sejadi-jadinya. Melihat itu, Sjam berujar, ”Kamu kok nangis? Semua orang nanti akan meninggal juga.”

Setelah itu, Sjam dijemput. Tidak jelas di mana eksekusi berlangsung. Tak pula diketahui di mana Sjam dimakamkan. Shinta lalu menyampaikan kabar eksekusi itu kepada keluarga. Tapi keluarga tak pernah berusaha mencari makam Sjam. Keberadaan tas berisi uang juga tak jelas.

Dari lima anaknya, hanya Ratna dan Laksmi yang tidak membesuk Sjam. ”Bapak tidak pernah minta mereka datang,” kata Maksum. ”Paling titip pesan atau tanya kabar.” Ratna hingga kini menetap di Bandung. Suaminya, yang masih terhitung kerabat jauh, bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Mereka dikaruniai dua anak. Laksmi menetap bersama suami dan anaknya di Tuban. Laksmi dan Shinta sama-sama lulusan IKIP Bojonegoro.

Tapi tidak semuanya memulai rumah tangga dengan mulus. Kelana, misalnya, tiga kali diusir calon mertua setelah mengaku putra Sjam. Gara-gara itu, Kelana menyembunyikan silsilah keluarga. Ia baru membuka rahasia kepada istrinya setelah anak kedua lahir, menjelang 1990.

Maksum dan adiknya juga merahasiakan sosok Sjam kepada anak mereka. Cucu pertama Sjam baru tahu siapa eyangnya setelah Tempo mendatangi Maksum. Begitu pula di lingkungan kerja. Anak-anak Sjam kini masih membungkus rapat siapa ayah mereka. Sesuai dengan permintaan, Maksum, Kelana, Ratna, Shinta, dan Laksmi pun hanya nama samaran. ”Tekanan psikologis prahara politik ini begitu hebat,” katanya.

Tidak ada komentar: