Sabtu, 01 November 2008

Syech Nawawi (6)


YANG MENCARI SYEKH NAWAWI

Oleh: Ibnu Adam Aviciena

Suatu hari aku bertemu dengan seorang yang ingin sekali bertemu dengan Syekh Nawawi al-Bantani. Ia, Chaidar, bertutur kepadaku bagaimana keinginan kuatnya itu mempertemukan dirinya dengan Syekh Nawawi di Ma’la, Mekkah, Arab. “Hatiku bergolak selalu, seolah-olah berteriak: Kyai Nawawi! Kalau tuan bersedia menerima kedatangannku, aku pasti mampu tiba di hadapanmu, Insya Allah. Sebaliknya, bila mana aku gagal berusaha berangkat ke Mekkah, kuartikan tuan tidak rela aku datang kepadamu. Dan dengan ini terimalah salam perkenalanku dari jauh, berupa bacaan Surat Alfatihah untukmu semata-mata.”

Chaidar memulai pencarian Syekh Nawawi dari Lasem, Jawa Tengah. Berbulan-bulan ia mencari jejak Syekh Nawawi dari Lasem hingga sampai ke Tanara, Serang. Pencarian itu dimulainya tahun 1975. Karena tidak ada jalan yang bagus ke Tanara saat itu, ia menggunakan perahu dari sungai Ciujung ditambah dengan perjalanan kaki sepanjang lima kilometer. Orang yang ditemui oleh Chaidar adalah H Barkat Ali, seorang buyut dari Syekh Nawawi. Rumahnya di dekat Masjid Jame’ di kampung Biyongbong, Desa Pamanuk, Kecamatan Carenang, Serang.

Ia bilang kepadaku bahwa ia sangat beruntung saat itu pergi ke Tanara dan bisa bertemu dengan H Barkat Ali, sebab bila saja terlambat datang ia pasti tidak bisa bertemu dengannya, sebab H. Barkat Ali dan keluarganya akan berangkat ke Mekkah untuk bertemu dengan saudara-saudaranya di sana. Setelah bertemu dengan H Barkat Ali ia meneruskan perjalannya ke Tanara dan bertmu dengan Kiyai Ahmad, suami dari keturunan Syekh Nawawi.

Selain ke Tanara, Chaidar juga ke Kecamatan Mauk, Tangerang, untuk bertemu dengan H. Zabidi, juga keturunan Syekh Nawawi. Juga sebelumnya ke Pasuruan, Jawa Timur, untuk bertemu dengan H Rabi’ah dan KH Ahmad Abdulmuhit di Surabaya. Selain itu, dia juga pergi ke pesantren al-Falah di desa Turus, Pandeglang. Di sana ia bertemu dengan KH Tubagus Mohammad Edrus.

Selanjutnya, pencarian Chaidar akan Syekh Nawawi membawanya ke Mekkah pada 1976. Ia berangkat menggunakan pesawat KLM sewaan GIA. Dengan polos ia bilang kepadaku, “…bagiku benar-benar terasa asing segala-galanya. Sebab, baru kali ini aku merasakan naik pesawat terbang. Ma’lum, orang kampung. Aku sama sekali tidak menduga, bahwa di dalam psawat DC 10 itu tertampung 410 penumpang. Dan atas kehendak Allah jua, maka tempat yang kududuki dalam pesawat itupun, sama sekali di luar dugaan.”.

Chaidar menceritakan pengalamannya di dalam pesawat, pengalaman saat dia merasa begitu dimuliakan oleh Allah. “Aku mendapat kursi di barisan tengah dan terdepan. Di kananku duduklah May. Jen. Rd. Mardanus bersama isterinya. Di kursi kiriku duduklah H. Rusli Chalil. Sebagaimana diketahui, bahwa May. Jen. Rd. Mardanus adalah wakil ketua komisi IX DPR. Dan H. Rusli Chalil adalah anggota Dewan Pertimbangan Agung dan ketua umum PERTI. Maka betapa besar hatiku di kala itu….”

Setelah pesawat mengangkasa, Chaidar merasa lapar. Tetapi ia yakin bahwa dia akan bisa makan. Katanya, ular saja yang hidup di pohon tidak mati kelaparan, apalagi ia manusia yang hidup bersama manusia. Bila jenderal yang duduk di dekatnya diberi rezeki, kenapa dia tidak. Dia yakin Allah maha adil. Artinya, dia yakin bahwa dia bisa segera mendapatkan makanan. Lalu datang pramugari membagi-bagikan makanan dan minuman, juga rokok. Setiap penumpang mendapatkan satu bungkus rokok yang di dalamnya ada tiga batang. Maka bertambah tebalah keyakinannya.

Sebelas jam perjalanan dari Jakarta ke Jeddah. Terlalu lama duduk Chaidar merasa tidak nyaman. Ia ingin berjalan-jalan di dalam pesawat seperti pramugari. Tapi bagaimana caranya? Ia ingat pepatah: tak kenal maka tak cinta, karena itu ia harus kenal dengan pramugari yang berkebangsaan Belanda itu. Ia juga sadar bahwa dirinya dulu pernah sekolah di taman kanak-kanak, dan salah satu gurunya di sana orang Belanda. Maka bicaralah dia kepada pramugari itu dalam bahasa Belanda. Dia bilang kepada pramugari bahwa dia ingin ke kamar kecil dan ingin diajari bagaimana menggunakan kamar kecil di pesawat. Pramugari tersebut mengajari bagaimana menggunakan kamar kecil dan menunggu Chaidar di depan pintu.

Selanjutnya dia menawarkan diri untuk membantu pramugari-pramugari melayani penumpang. Dan tawaran itu diterima. Dia mengerjakaan pekerjaan pramugari. Dengan kemampuan bahasa Belandanya Chaidar becakap-cakap dengan pramugari, dan kadang-kadang ia bercanda dengan mereka. Di saat seperti itu ia ingat bahwa tadi pramugari membagi-bagikan rokok kepada penumpang. Dia tahu bahwa tidak semua penumpang suka merokok, maka dia menacari akal untuk mendapatkan rokok-rokok dari penumpang yang tidak suka merokok. Kepada penupang ia bicara, “Kalau Ibu tidak suka merokok, ayo serahkan kepadaku. Di dalam pesawat terbang dilarang menimpan rokok. … kulihat ibu-ibu gugup. Dan dengan spontan menyerahkan rokoknya kepadaku.”

Setelah sampai di Mekkah ia datang ke Darul Ulum, lembaga yang menyelanggarakan pendidikan dari taman kanak-kanak hingga universitas. Darul Ulum ini didirikan oleh orang Indonesia. Chaidar datang ke sana untuk wawancara mengenai Syekh Nawawi al-Bantani. Ulama dan dosen di Darul Ulum kemudian menugaskan Dahlan Hasan untuk membantu Chaidar mendapatkan data tentang Syekh Nawawi. Bersama Syekh Dahlan dan H. Ghozali Sahlan seorang Banten yang bekerja di Kedutaan Malaysia di Jeddah, Chaidar pergi ke Ma’la.

“Ketika tiba di Makam Syekh Nawawi Albanteni, syukurku kehadirat Allah, berlebih-lebihan. Yaitu setelah K.H. Dahlan Hasan menyatakan: inilah kuburnya Kyai Nawawi yang kau cari-cari. Aku merenungkan jasa-jasa dan karyanya. Ratusan kitab telah dikarang olehnya, yang kini ternyata kitab-kitabnya dibaca, dipelajari, dikerjakan dan diamalkan oleh seluruh Ummat Islam. Tanpa ajaran-ajarannya, Ummat Islam tidak akan dapat melakukan ibadahnya. Betapa tidak.”.

Sudah berbulan-bulan Chaidar dari Lasem Jawa Tengah mencari seorang syekh yang dipujanya. Dari Lasem ia ke Surabaya, ke Serang, ke Tangerang, ke Pandeglang, dan sekarang ke Mekkah. Orang yang dicarinya sekarang sudah ditemukannya. Ia terbaring di dalam kuburnya di Ma’la, di komplek kuburan Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Maka dicium dan dipeluknya nisan Syekh Nawawi sambil menangis. “Itu bukan berarti aku mengkuluskan benda berbentuk nisan…,” katanya. “Yang kulihat, seolah-olah aku melihat sendiri Kyai Nawawi dengan senyum dan wajah cerahnya menerima kedatanganku.”.

Chaidar menceritakannya kepadaku bahwa betapa ia sangat bahagia bisa bertemu dengan Syekh Nawawi. Ia, Syekh Nawawi, sudah menulis banyak buku panduan hidup, seperti tentang perkawinan, kematian, perang, ekonomi, mengatur pemerintahan, “Dan tidak tinggal pula tentang apa yang orang sekarang namakan . Beliau mengupasnya sangat terbuka. Bahkan lebih o dari semua buku-buku dan majalah-majalah yang ada.”.

Ia sangat bahagia pencarian akan Syekh Nawawi membawanya ke sana. Setiap sehabis solat ia selalu membaca al-Fatihah dan membaca doa yang kini sudah menjadi kenyataan. “Ya Allah, kalau benar-benar Engkau Dzat Yang Mahas Kuasa, lemparkanlah diriku yang hina-dina dan miskin ini ke tanah suci Mekkah. Dan pertemukanlah dengan Kyai Nawawi di Ma’la. Ya Allah, cobalah perlihatkan kekuasaanMU kali ini….,” begitu Chaidar memanjatkan doanya.

Begitulah ia, Chaidar, yang sangat memuliakan Syekh Nawawi al-Bantani, menceritakan pengalamannya kepadaku lewat bukunya Sejarah Pujangga Islam Syech Nawawi Albanteni Indonesia. “Aku tidak rela bilamana dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan melupakanmu begitu saja. Walaupun dalam kitab-kitabmu hanya tuan sebutkan: ditulis oleh Mohammad Nawawi bin Umar Albanteni, Al-Hindi…”—Al-Hindi, Hindia Belanda, Indonesia.*

Tidak ada komentar: