Selasa, 18 November 2008

Versi Mutakhir G30S


Asvi Warman Adam

  • Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

    BEGITU meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965, para perwira di sekeliling Soeharto—Yoga Sugama, misalnya—langsung punya firasat: Partai Komunis Indonesia berada di balik itu. Dalam hitungan hari, 5 Oktober 1965, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Ibnu Subroto pun mengeluarkan pernyataan: ”Peristiwa ini jelas didalangi oleh PKI yang merencanakan kup ini.”

    Versi ini menimbulkan tanda tanya. Jika PKI berontak, kenapa tiga juta anggotanya tidak melawan? Kenapa partai komunis terbesar ketiga di dunia itu rontok dengan mudahnya?

    Selama ini alasan yang digunakan pemerintah selalu mengacu pada proses Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang memutuskan PKI terlibat pemberontakan. Padahal putusan pengadilan hanya menyebutkan individu-individu yang dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup, dengan alasan terbukti melakukan makar.

    Pendekatan di atas itu ditentang oleh Benedict Anderson dan Ruth McVey, yang pada Januari 1966 mengatakan ini persoalan intern Angkatan Darat. Pandangan itu kemudian diterbitkan dan dikenal sebagai ”Cornell Paper” (1971). Mereka memandang G30S sebagai pemberontakan perwira asal Kodam Diponegoro yang kesal melihat perilaku para jenderal SUAD yang hidup berfoya-foya di Jakarta. Perwira asal Jawa Tengah itu mengajak personel Angkatan Udara Republik Indonesia dan PKI dalam operasi mereka.

    Analisis kedua ini lemah karena Untung dan Latief memang dari Kodam Diponegoro, tapi tidak demikian halnya dengan Brigadir Jenderal Supardjo (Siliwangi) dan Mayor Udara Sujono. Demikian pula, mengatakan ini semata-mata persoalan ”intern Angkatan Darat” tidak tepat karena unsur PKI, seperti Sjam dan Pono, juga terlibat.

    Kedua versi tersebut ditengahi Harold Crouch (The Army and Politics, 1978) yang menolak Cornell Paper yang membebaskan PKI sepenuhnya dari kesalahan. Namun ia berpendirian bahwa ”inisiatif awal timbul dari tubuh Angkatan Darat”. PKI terlibat tapi sebagai ”pemain kedua”. Versi Crouch itu cukup beralasan, walaupun ia tak berhasil menjelaskan mengapa G30S dirancang dengan buruk, mengapa pengumuman mereka yang kedua disiarkan berselang lima jam dari yang pertama. Padahal, dalam suatu kudeta, kecepatan dan ketepatan waktu sangat krusial.

    Sebelum Harold Crouch, seorang penulis Belanda, Antonie Dake, menerbitkan untuk konsumsi internasional edisi dua bahasa yang berisi pengakuan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko, The Devious Dalang (1974). Buku itu merupakan hasil pemeriksaan Bambang Widjanarko (3 Oktober-4 November 1970) yang membenarkan bahwa Soekarno pada 4 Agustus 1965 memanggil Letnan Kolonel Untung dan memerintahkannya mengambil tindakan terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal.

    Soekarno wafat 22 Juni 1970 dan tidak mungkin lagi diadili. Tapi, untuk apa dilakukan pemeriksaan tentang keterlibatannya dalam G30S? Ditengarai wacana itu merupakan upaya preventif mencegah kebangkitan pendukung Soekarno dalam pemilihan umum Juli 1971. Versi Soekarno ini diragukan, karena Widjanarko sendiri mengakui kemudian ia dipaksa bersaksi. Apa yang terjadi pada 1 Oktober 1965 pagi hari membuktikan bahwa Presiden Soekarno tidaklah tahu sepenuhnya rencana G30S. Mengapa ia berputar-putar keliling Jakarta sebelum menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, 1 Oktober 1965? Mengapa tidak langsung dari Wisma Yaso menuju Halim?

    Keterlibatan Soeharto diungkapkan oleh W.F. Wertheim dalam artikelnya yang terbit musim dingin 1970: ”Suharto and the Untung Coup—The Missing Link”. Hubungan Soeharto dengan Untung dan lebih-lebih lagi dengan Latief yang bertemu dengan Soeharto pada malam nahas itu juga dipertanyakan. Soalnya, Soeharto tidaklah ”sejenius” itu, bukan tipe orang yang merancang perebutan kekuasaan secara sistematis. Tapi, karena sudah tahu sebelumnya, ia menjadi orang yang paling siap.

    Amerika Serikat tidak ikut campur pada 30 September dan 1 Oktober 1965 walaupun berbagai dokumen menyebutkan keterlibatan mereka sebelum dan sesudah peristiwa. Bagi Amerika, jatuhnya Indonesia ke tangan komunis artinya kiamat. Keterlibatan Amerika ini sudah disinyalir Bung Karno dalam pidato Nawaksara pada 1967, yang menyebut adanya ”subversi Nekolim”.

    Setelah Soeharto jatuh pada 1998, bermunculan buku-buku yang semasa Orde Baru tidak boleh terbit di samping pencetakan ulang versi resmi. Meskipun berbentuk penerbitan terjemahan atau tulisan baru, semua buku itu masih dapat dikategorikan atas lima pendekatan dalam melihat dalang G30S (PKI, Angkatan Darat, Soekarno, Soeharto, dan CIA). Masing-masing menentukan dalang tunggal dari peristiwa yang sesungguhnya sangat kompleks. Padahal Soekarno pada 1967 sudah lebih maju dalam melihat peristiwa itu, yakni sebagai pertemuan tiga sebab: 1) keblingernya pemimpin PKI, 2) subversi Nekolim, 3) adanya oknum yang tidak bertanggung jawab.

    Versi keenam, versi mutakhir G30S dikemukakan dalam buku John Roosa (Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, 2008). Di sini peran Sjam sangat menentukan. Kelemahan utama G30S adalah tidak adanya satu komando. Terdapat dua kelompok pemimpin, yakni kalangan militer (Untung, Latief, dan Sujono) serta pihak Biro Chusus PKI (Sjam, Pono, dengan Aidit di latar belakang). Sjam memegang peran sentral karena ia menjadi penghubung di antara kedua pihak ini. Namun, ketika upaya ini tidak mendapat dukungan dari Presiden Soekarno, bahkan diminta untuk dihentikan, kebingungan terjadi, kedua kelompok ini terpecah. Kalangan militer ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus tetap melanjutkan. Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertama, kedua, dan ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam. Pada pagi hari mereka mengumumkan bahwa Presiden dalam keadaan selamat. Adapun pengumuman berikutnya, siang hari, sudah berubah drastis: pembentukan Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet.

    Dokumen Supardjo mengungkap mengapa gerakan itu gagal dan tidak bisa diselamatkan. Kerancuan antara ”penyelamatan Presiden Soekarno” dan ”percobaan kudeta” dengan membubarkan kabinet dijelaskan dengan gamblang. Jauh sebelum peristiwa berdarah itu, Amerika telah mendiskusikan segala tindakan yang perlu untuk mendorong PKI melakukan gebrakan lebih dulu sehingga dapat dipukul secara telak oleh Angkatan Darat. Dan Aidit pun terjebak. Karena sudah mengetahui sebelum peristiwa itu terjadi, Soeharto adalah jenderal yang paling siap pada 1 Oktober 1965 ketika orang lain bingung. Nama Soeharto sendiri tidak termasuk daftar perwira tinggi yang akan diculik.

    Penulis Prancis, Paul Veyne, mengatakan bahwa sejarah itu tak lain dari intrik. Pada versi ini, kerumitan misteri itu disederhanakan dengan metode ala detektif. Pembaca diyakinkan bahwa tokoh kunci G30S, Sjam Kamaruzaman, bukanlah agen ganda, apalagi triple agent, melainkan pembantu setia Aidit bertahun-tahun. Pelaksana Biro Chusus PKI yang ditangkap pada 1968 ini baru dieksekusi pada 1986. Ia bagaikan putri Syahrezad yang menunda pembunuhan dirinya dengan menceritakan kepada raja sebuah kisah setiap malam, sehingga mampu bertahan 1.001 malam. Sjam bertahan lebih dari 18 tahun dengan mengarang 1.001 pengakuan. Ia diberi kesempatan untuk mengungkapkan siapa saja yang pernah direkrutnya.

    Sjam divonis mati dalam Mahmilub pada 1968. Ia diambil dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang 27 September 1986, dibawa ke RTM Cimanggis, Bogor. Pada 30 September dinihari, bersama Pono dan Bono dibawa ke lokasi eksekusi di salah satu pulau di Kepulauan Seribu. Dari RTM Cimanggis dibawa dengan konvoi kendaraan militer ke dermaga Tanjung Priok. Dengan kapal militer berlayar selama 15 menit sampai di pulau. Mereka ditembak tepat pukul 3 pagi oleh regu tembak yang terdiri atas 12 orang. Rute kehidupan Sjam dari Tuban (30 April 1924)-Jombang-Surabaya-Yogyakarta-Jakarta-RRC (berobat)-Vietnam Utara-penjara Cipinang-RTM Cimanggis-Tanjung Priok-Kepulauan Seribu (30 September 1986) berakhir tepat pada peringatan 21 tahun tragedi berdarah itu.

    Dalam versi keenam ini terungkap bahwa G30S lebih tepat dianggap sebagai aksi (untuk menculik tujuh jenderal dan menghadapkan kepada Presiden), bukan sebagai gerakan. Sebab, peristiwa ini merupakan aksi sekelompok orang di Jakarta dan Jawa Tengah yang dapat diberantas dalam waktu satu-dua hari. Namun aksi ini (yang kemudian ternyata menyebabkan tewasnya enam jenderal) oleh Soeharto dan kawan-kawan lalu dijadikan dalih untuk memberantas PKI sampai ke akar-akarnya. Sesuatu yang di lapangan menyebabkan terjadinya pembunuhan massal dengan korban lebih dari setengah juta jiwa.

    Kalau para jenderal yang diculik itu tertangkap hidup-hidup, mungkin sejarah Indonesia akan lain. Massa PKI akan turun ke jalan dan menuntut para jenderal itu dipecat. Presiden akan didesak untuk memberikan kursi departemen kepada golongan kiri itu karena sampai 1965 Soekarno tidak pernah mempercayakan pemimpin departemen kepada tokoh komunis kecuali Menteri Negara.

    Versi terakhir ini dilakukan dengan membongkar versi-versi lama (dekonstruksi) dan menyusun narasi baru (rekonstruksi) dengan menggunakan sumber-sumber yang kesahihannya telah diuji serta tokoh kunci yang dapat diandalkan mengenai apa yang disebut Biro Chusus PKI. Versi ini menampilkan data baru (berbagai dokumen dari dalam dan luar negeri), metodologi baru (dengan mengikutsertakan sejarah lisan), dan perspektif baru (ini adalah aksi bukan gerakan, tapi kemudian dijadikan dalih untuk peristiwa berikutnya yang lebih dahsyat). Karena Sjam menjadi tokoh sentral, silakan versi terakhir ini disebut G30S/Sjam.

  • 5 komentar:

    bekka plond mengatakan...

    dalam versi mutakhir g30s berarti pihak barat lebih pintar dalam membuat para elite politik sipil militer berlakon sesuai dengan arahan yang ingin dituju mereka , dan dengan intrik jebak menjebak mereka menggiring bangsa ini untuk menggebuk komunis dan jatuh kedalam budaya kapitalis , ya komunis memang harus hangus , namun kapitalis hendaknya juga hengkang dari bumi indonesia tapi bagaimana caranya mereka lebih lihai dalam menawarkan sorga bagi bangsa ini

    eye_of_misery mengatakan...

    Kelompok kapitalis modern/kapitalis barat sudah lama menginginkan kejatuhan Rezim Soekarno pada waktu itu ( melihat garis-garis besar dari buku Pledoi Omar Dani, menyingkap kabut halim dsbnya ).
    Singkat kata, penculikan para jendral, termasuk isu dewan jendral, dan sekaligus prihal coupe de etat terhadap kekuasaan tertinggi (presiden) bisa dikatakan sebagai "Teori Kekacuan/Chaos Theory" utk pengalihan dari wacana sesungguhnya yg mengerikan dan merugikan untuk Indonesia hingga ratusan tahun mendatang.
    Setelah peristiwa ini perusahaan2 adikuasa spti Leman Brothers, General Motor Companies, Asian Development Bank, Goodyear, dsbnya yg memiliki banyak kepentingan utk bisa merauk kekayaan negara Indonesia baik dari sumber daya alam hingga sumber daya manusianya.
    Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar. Bukti nyata kenapa sebagian besar pegawai/pekerja/buruh yg tergolong unskilled labours s/d skilled labours pribumi tdk akan pernah mendapatkan gaji yg semana layaknya dibandingkan dgn sesama buruh/tenaga asing yg dipekerjakan di Indonesia. Padahal seharusnya sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia bisa diberdayakan lebih baik utk keuntungan bangsa Indonesia sendiri.
    Akan tetapi ingat satu hal : sejarah ditentukan oleh pemenang yg bercokol di bangku kekuasaan, sejarah bisa direkayasa utk kepentingan dan kemakmuran segelintir kelompok yg berkepentingan.
    Jadi pada intinya, peristiwa G30S adalah sebuah kambing hitam yg sempurna utk negara Indonesia yg mana pada waktu itu berada di tengah-tengah perang dingin ekonomi blok Timur dan Barat. Sangat jarang utk otak domestik bisa berpikir kudeta spti ini adalah sebuah rekayasa pihak luar dgn mengadu dombakan pihak intern Indonesia. Tpi fakta sesudah peristiwa ini adalah sebuah bukti nyata.

    HISTORY FOR A WISDOM mengatakan...

    tak bisa dielakan lagi soekarno memang dekat dengan PKI , tapi yang jd pertanyaan motif kedekatanya itu seperti apa ?

    http://adhytiawans.blogspot.com/

    Unknown mengatakan...

    Bule penjajah itu adalah musuh kita bersama senyata-nyatanya dan sebenar-benarnya jangan pernah berpikir bahwa mereka akan tobat, bohong itu. Ratusan tahun telah menikmati betapa nikmatnya menjajah. File-file dengan ribuan cara untuk menjajah bangsa lain tersimpan rapi dan akan dipergunakan terus sepanjang masa. Berbagai cara akan dipergunakan karena tujuan akhir adalah memperoleh kue ekonomi. Ingatlah bahwa Presiden Amerika itu dapat amanah untuk menyejahteraka rakyat amerika, bukan indonesia begitu juga pula pemimpin negara bule penjajah yang lain. Berbagai trik digunakan mulai dari gerkan agama, LSM, kerjasama dll.

    Unknown mengatakan...

    Bule penjajah itu adalah musuh kita bersama senyata-nyatanya dan sebenar-benarnya jangan pernah berpikir bahwa mereka akan tobat, bohong itu. Ratusan tahun telah menikmati betapa nikmatnya menjajah. File-file dengan ribuan cara untuk menjajah bangsa lain tersimpan rapi dan akan dipergunakan terus sepanjang masa. Berbagai cara akan dipergunakan karena tujuan akhir adalah memperoleh kue ekonomi. Ingatlah bahwa Presiden Amerika itu dapat amanah untuk menyejahteraka rakyat amerika, bukan indonesia begitu juga pula pemimpin negara bule penjajah yang lain. Berbagai trik digunakan mulai dari gerakan agama, LSM, kerjasama dll.